Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2011

Mati Rasa

Saya masih cekikikan ketika Boss masuk ruangan, "Don't laugh at me, it is not funny." Langsung saya nginyem. Lagipula, siapa yang menertawakan dia? Cukuplah kalau begitu. Besoknya, dia minta saya untuk step back. "Starting from now, Elephant will supervise you. You do a good job but..." Saya tidak mendengar kalimat berikutnya karena tiba-tiba telinga seperti tersumpal sesuatu dan tidak bisa mendengar apa-apa. Anehnya, saya bisa mendengar Elephant teriak-teriak, tanya-tanya, berisik, memecah konsentrasi saya sebelumnya, seperti sebelum step forward . She always does it. Padahal yang ditertawakan itu soal mati rasa. Bahwa hujan lokal di muka sendiri sudah tidak dapat dirasakan oleh semua yang ada di penjara berbentuk kantor itu. If he wants me to step back, I want to step away. I don't care if someone is happy because of it. However I wanna be happy of what I am doing.

Kawin Campur

" Hah? Kawin Campur? Kan' artinya sama saja? Maksudnya apa toh ?" Istilah ini muncul di kalangan umat Katholik untuk menggagas realita banyaknya kaum muda yang berpacaran dengan yang berbeda agama. Yang saya ingat cukup marak di tahun 1980-an, tepatnya di majalah kalangan Katholik. Oke, memang Tuhan menyiapkan seorang yang sepadan bagi tiap orang lainnya, tapi Tuhan tidak menyebutkan harus yang seagama kan? :) Karena itu artinya meniadakan saya dong hehehhe.... Bapak saya muslim dan Ibu saya Katholik. Jodoh itu bukan berarti harus seagama ;) Dan bukan berarti tidak ada kisah sedih di baliknya. Tentu saya cukup melihat dengan iri kalau melihat teman sekeluarga ke Gereja bersama. Seperti saya 'kasihan' dengan Bapak dan adik yang sholat sendirian. Meski toh sembahyang adalah hubungan komunikasi pribadi dengan Tuhan, tapi kalau pergi bareng itu, mungkin, rasanya lain. Pikiran nakal masa kanak-kanak timbul untuk menepis kesedihan itu: yang penting dapat dobel par

Dik Sud

Bukan nama asli, tapi kerabat di kampung halaman Kanjeng Rama selalu memanggil dengan sebutan itu. Kami anak-anaknya memanggil nama itu karena sayang. Beliau seorang Bapak yang selalu setia mengantar istri dan anak-anaknya ke mana saja ketika masih sehat. Beliau penuh perhatian, "Sampun dahar?" Beliau penuh penerimaan. "Kapan datang ke sini lagi? Belum tentu ya?" Dalam kebertidakdayaannya, harapannya adalah kunjungan anak-anaknya. Warisan nilai yang akan terus saya pegang adalah kerendahan hati, setia, tutur kata yang baik dan halus dan sikap yang penuh perhatian.

Imaji dan Sendiriku

Imaji liar Dia datang tiba-tiba Juga dibenci karena angan ketinggian Tapi pasti karena menghapus getir yang mengakar Agar pudar Coba tegak berdiri Bukan untuk dikasihani Bukan untuk diberi hati Tapi demi sendiri Mengapa takut sendiri? Ku datang dalam kesendirian Pulang pun sendirian Tak mampu lagiku bilang tidak Masih bisa kusenyum meringis Tapi bukan menangis Sudah habis air mataku Imaji berlari di kepalaku Ingin kuhenti tapi dia datang sendiri Pulang sendiri Kadang tak mau pergi Sudah Lelah Lepas Bebas Note: Foto diambil dari sini . Matur nuwun, Mas Ari.