Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2009

Skala Pelit versus Pemerahan Tenaga

Untung saja aku berharap F, jadi tidak sedih-sedih amat ketika keluar kamar pengakuan sambil memegang Form Performance Appraisal dengan tulisan C . Average , karena aku orang average? Atau karena ada high expectation di-balik-nya. Jadi ingat sekali duluuuuu waktu jamannya sekolah dan harus menghadapi 2 macam ujian, ujian nasional dan ujian swasta (yang dibuat oleh guru sendiri). Kalau sedang menghadapi Ujian Nasional aku gumbiraaaa sekali, karena soal-soalnya jauh lebih mudah dijawab dari pada Ujian Swasta. Jadi guru sendiri itu bikin standar tinggi, skala yang jauuuh, dengan high expectation di baliknya...menurutku. Tenaga yang dikeluarkan untuk Ujian itu udah 300 persen. Tapi lebih dari itu, soal-soal yang kualitatif memang menciptakan peluang untuk didebat, dipertanyakan, dan emang subyektif. Beda dengan yang kuantitatif... Bagaimana pun kita selalu harus diuji untuk jujur pada diri sendiri mau pun orang lain...transparan.

Beri Aku Tangismu Saja

Kalau risau teman sejati Beri aku tangismu saja Tapi aku tidak mau menangis bersamamu Aku ubah jadi senyummu Jadi milik kita Kalau risau teman sejati Beri tangismu saja Kau tahu dari dulu Tangis itu tak lama Aku biasa menangis dengan tawa Beri aku sakitmu saja Karena kita tumbuh bersama 32 tahun di gang yang sama Membiarkan dulu air ketubanku mengotori jok mobilmu...

32 tahun Bertetangga

"Saya sedang cari rumah yang ada suara bayinya," kata ibu muda itu tertawa, dan mengelus kepalaku, masih bayi, dalam gendongan ibu asli Tegal, tetangga kami. Ibu muda yang ternyata tinggal tepat di seberang rumah kami, akhirnya mampir ke rumah berkenalan dengan ibuku, sebagai penghuni yang lebih lama tinggal di gang itu. Besoknya, kiriman perlengkapan bayi mulai dari baju2 dan perlengkapan mandi datang, semua untukku. Rupanya hadiah kelahiran putri pertamanya yang saat itu berusia 2 tahun masih utuh, tidak semua dipakainya, dan semua untukku. Aku dan adik2 memanggil dia Bude. 32 tahun kemudian rrrrriiiinnng... Kepalaku masih pusing, tadi siang dokter kantor mengukur tensiku 80/50. Mungkin akibat 2 hari sekali menginap di RS, yg otomatis ga tidur. Hari ini tepat Kanjeng Rama pulang. "Ing, Bude mau ukur tensi kamu, katanya tadi muntah2 ya?!" "Bagus kok, 110/80... udah minum obat?" "Sudah Bude" Besoknya, Bude datang, menemui Kanjeng Ratu, "Mbak

32 Tahun Bersaudara Bertetangga

"Selamat pagi, saya mencari rumah yang kedengaran suara bayinya," ibu muda itu tertawa ketika melihat tetangga sebelah rumah menggendong aku yang masih bayi, belum lama lahir ke dunia.. Tawanya seakan ingin membagi kebahagiaan, sama2 baru dikaruniai anak pertama. Meski saat itu putrinya sudah berumur 2 tahun. Besoknya baju2 bayi dan perlengkapan datang, masih banyak kado kelahiran putrinya yang belum terpakai. Semua itu untukku. 32 tahun kemudian. Rrrriiiiiing, handphoneku berdering, kepalaku yang masih berat akibat tensi 80/50 mungkin membuat orang di seberang sana menunggu lama untuk dijawab. "Ing, Bude mau ukur tensi kamu sekarang," Tidak berapa lama beliau sudah datang di ruang tamu, membawa pengukur tensi, "Sudah naik, 110/80" "Saya sudah sempat ke dokter Bude, tapi masih kurang enak badan tadi sampai muntah2..." Ibu itu datang lagi, besoknya, menemui ibuku. "Mbakyu, Mbakyu kan sekarang sedang banyak kebutuhan," sambil bicara be