Langsung ke konten utama

Sendratari Ciptoning: Totalitas Seni, Totalitas Pendidikan


Saya termasuk beruntung ketika berhasil mendapatkan tiket untuk nonton sendratari Ciptoning di Gedung Kesenian Jakarta hari Sabtu, tanggal 14 Maret 2015. Dengan kebaikan seorang teman yang sudah mengorganisir agar kami - para murid Sanggar Padnecwara bisa duduk dan menonton bersama. Kami adalah satu angkatan paling baru dan tentunya senang sekali bisa menonton karya sang Maha Guru Retno Maruti. Seperti satu adegan klimaks dalam banyak episode dalam hidup saya, kalau tidak dianggap berlebihan: saya telah menyaksikan totalitas seni.

Seperti yang dikatakan oleh seorang pembicara dalam Seminar Nasional "Memanusiakan Anak bangsa Melalui Penguatan Karakter" di auditorium Bank Indonesia hari Sabtu tanggal 17 Januari tahun 2015, 'proses pendidikan sejak tempo dulu di Indonesia diperoleh secara otentik, bukan plagiat, melalui budaya Timur, kearifan lokal'. Penyelenggara yang asalnya dari persatuan umat Hindu di Nusantara tersebut menyatakan bahwa pertapaan, pelatihan dan penciptaan adalah ketiga proses pendidikan. Bahkan di dunia modern kita masih menjumpai bentuk lain pertapaan yaitu penelitian. Ibu Guru Retno Maruti sang sutradara dan koreografer pementasan ini sudah menunjukkan ketiga proses pendidikan, yaitu ketika mulai belajar tari sejak usia 5 (lima) tahun di sanggar tari ayahnya, lalu beliau mengembangkannya dalam bentuk tari kreasi dengan tidak lari dari pakem tarian Surakarta yang sudah dipelajarinya. Proses niteni, nirokke, nambahi terlewat sudah. Totalitas pendidikan terlewat juga.

Saya mengenal sendratari Jawa ketika suatu malam saya terbangun dan mendapati Bapak saya almarhum tengah menonton acara wayang orang di TVRI. Lalu ketika SD saya ikut ibu saya mendandani para penari untuk sebuah pertunjukan wayang orang Bharata. Ibu memaksa saya ikut latihan menari Surakarta di Bhara Widya ketika itu. Lalu ketika SMP secara live saya menonton sendratari Prambanan bersama teman-teman dalam study tour ke Jawa Tengah. Lama setelah itu, setelah saya mulai latihan menari lagi di sanggar Padnecwara asuhan Retno Maruti, ketika saya menonton sendratari Ciptoning ini, rasanya bukan sekedar tontonan visual. Karena ketika saya mencoba menghayati gendingnya, gerak tarinya, puisi dalam lantunan sinden dan dialog wayang orangnya, saya merenungkan, merasakan dan meyakini itulah totalitas seni. Meskipun saya suka puisi, musik, menari, teater, fashion, yang lain itu tidak seperti yang ini, lantun musikal sindennya, isi syair Jawanya, tabuh gamelannya, tingkah tarinya, tata busananya, isi ceritanya, semuanya meresap dalam hati. Mungkinkah karena dalam darah saya juga mengalir darah Jawa? Melihat mereka yang menari, jiwa saya pun menari. Seperti kata teman saya yang mengantar saya pulang. Totalitas seni ini membuat merinding, hampir menangis. Terutama ketika Ibu Retno Maruti, seperti layaknya seorang Designer yang selesai menunjukkan semua rancangannya, di akhir pertunjukkan beliau diantar naik ke atas panggung dan mendapat tepuk tangan yang meriah.

Selain itu saya senang karena saya menemukan teman-teman yang memiliki kepekaan yang sama yang langka. Tiba-tiba saya kurang beruntung tidak sekolah di daerah Jawa Tengah ketika teman saya bisa menuliskan pesan dengan aksara Jawa di atas kanvas di sana.

Terima kasih, Tuhan.

Bergaya sebelum nonton sendratari Ciptoning

Komentar

Anonim mengatakan…
Gak ngerti basa Jawa aja bisa nulis begini ya... Brava!!! Tengkyu mau berbagi.
Rediningrum Setyarini mengatakan…
Terima kasih, Mo Set, sudah mau mampir. Sugeng makarya.