Langsung ke konten utama

NRIMO ING PANDUM

Kebetulan saya mendapat tugas mengetik transkrip dari audio rekaman wawancara dengan relawan korban gempa di Yogya tahun 2006. Wawancara ini dilakukan oleh peneliti yang ditugaskan untuk menggali data tentang situasi terakhir masyarakat DIY korban gempa mulai dari 6 bulan, 1 tahun sampai 1,5 tahun terakhir. Tujuan dari penggalian data dari pihak PMI ini terutama adalah mencari kebutuhan manajemen relawan yang masih akan dibutuhkan di masa mendatang, mengingat rawannya wilayah Indonesia akan bencana alam.

Yang ingin saya kutip terutama adalah penggalian makna NRIMO atau lengkapnya NRIMO ING PANDUM, menerima sesuatu sesuai bagiannya, yang sudah menjadi kultur masyarakat Jawa Tengah, turun temurun. Bagaimana sikap ini dileburkan dalam realitas kesusahan para korban menghadapi bencana gempa?
  1. BERGESER: Para relawan menyadari penghayatan masyarakat Jawa tentang konsep ini sudah mulai bergeser. Sebagian orang menuntut agar dapat menerima bantuan meskipun ada masyarakat lain yang lebih membutuhkan. Mereka adalah orang yang berpendidikan lebih tinggi, generasi lebih muda, kalangan menengah atas. Para relawan mengkategorikan mereka sebagai orang yang serakah dan yang labil emosinya. Orang yang berpendidikan lebih rendah, dalam kondisi tidak memahami, dia akan menerima apa adanya. Tampaknya buat para korban, bantuan tidak boleh datang terlambat, karena nilai bantuan ketika datangnya cukup lama dari saat terjadinya bencananya, ternyata dipandang lebih rendah dibandingkan dengan bantuan yang cepat datangnya.
  2. TOLERANSI: Harusnya, sikap NRIMO yang mengandung usaha tersebut diwujudkan dalam bentuk toleransi pada anggota masyarakat yang lebih susah keadaannya. Karena NRIMO juga menngandung nilai sosial dan kemanusiaan, yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ingin maju. Dan para relawan sendiri mengakui bahwa sikap TAKE and GIVE dari masyarakat membantu kerja operasional mereka. Mis: pemberian data, tenaga, snack atau minum, juga dalam hal mematuhi prosedur distribusi bantuan.
  3. NELONGSO tidak sama dengan NRIMO. Nelongso itu mengandung unsur pasrah tanpa usaha, hanya meratapi keadaan yang lalu. Sementara NRIMO lebih ditujukan pada Yang Kuasa. Menerima bahwa musibah sudah terjadi, mensyukuri apa yang masih ada, kemudian berusaha untuk bangkit, namun tetap ada KUASA yang melebihi manusia.
  4. NRIMO bagi relawan seakan dipolitisir. Tentunya sebagai relawan dalam menjalankan tugas kemanusiaan, tidak mengharapkan insentif. Tetapi bukan tidak mungkin mereka tetap membutuhkan dana untuk kerja operasional mereka. Sewajarnya di samping mereka ingin bekerja secara manusiawi, bukan malaikat, juga ingin bekerja secara profesional.
  5. Menurut Mbah Maridjan, NRIMO itu artinya merefleksi diri sendiri, apa yang kurang pada dirinya untuk menjadi optimal. Takaran untuk setiap orang dalam berusaha itu tidak sama.

NRIMO ING PANDUM begitu terkenal dalam masyarakat Jawa karena merupakan bagian dari kearifan lokal, bagian dari kultur. Penghayatannya dalam masyarakat Jawa sudah berlangsung lama, turun temurun, bahkan sebelum era 90-an masuk dalam kurikulum SD di daerah sebagai filsafat yang diwujudkan dalam bentuk cerita atau bacaan2.

Dalam peleburan kearifan lokal ini ke dalam realitas hidup sekarang (yang rawan bencana), sebagian relawan beranggapan pentingnya membentuk psiko sosial masyakarakat, agar menjadi korban yang survive dan tetap dapat menolong sesamanya.

Komentar