"Mungkin Mbak pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan waktu kecil sehingga terlalu keras pada diri sendiri." Aku menyeruput kopi es krim dengan suara keras agar kawan di seberangku melihat ketidaksenanganku atas pendapatnya. "Laki-laki itu tetaplah harus jadi tulang punggung, harus dia yang menafkahi keluarga, harus dia yang uangnya lebih banyak." "Tidak semua perempuan seberuntung itu dan tidak semua perempuan seberuntung wanita yang independen," tiba-tiba aku ingin membekap mulutku sendiri. "Mungkin mereka salah memilih," kawanku menatapku tajam. 'Tuh kan aku sudah duga dia akan bilang begitu,' aku berkata dalam hati. "Bagaimana dengan seorang wanita yang menikah dengan pria lulusan SD, kisah nyata 1983, kubaca di majalah Kartini," aku mencoba membelokkan pendapat dia dan meringis, teringat tanteku mencubit lenganku ketika mendapati aku membaca majalah wanita dewasa. "Mungkin sebenarnya dia tidak bahagia,&quo
"Aku harus pergi jauh dari sini," Diko menatap jauh ke luar jendela. "Mengapa harus begitu?" aku membalikkan badan Diko ke arahku. "Namaku sudah cemar, begitu aku diberi kabar bahwa aku dikeluarkan dari perusahaan, HRD sudah bilang aku masuk black list, semua agensi riset di Jakarta tidak akan ada yang mau terima aku." "Kamu salah apa?" aku mengernyitkan kening, Diko jarang cerita lengkap. "Tidak akan ada yang peduli aku salah apa, semua sudah terlanjur," Diko berujar dan tampak cemas sekali. "Kau masih punya kesempatan untuk menjelaskan kepada mereka, Diko," aku berusaha menenangkan hatinya. "Tidak perlu, aku tidak akan lagi kerja di Jakarta," Diko cepat-cepat menukas. "Lalu kau mau tinggalkan aku?" sekarang nada suaraku meninggi. "Bagaimana lagi?" sekarang suara Diko melembut. "Bagaimana hubungan kita?" suaraku kali ini tidak bertenaga. "Tetap sama," suara Diko tampak tegas.