"Mungkin Mbak pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan waktu kecil sehingga terlalu keras pada diri sendiri."
Aku menyeruput kopi es krim dengan suara keras agar kawan di seberangku melihat ketidaksenanganku atas pendapatnya.
"Laki-laki itu tetaplah harus jadi tulang punggung, harus dia yang menafkahi keluarga, harus dia yang uangnya lebih banyak."
"Tidak semua perempuan seberuntung itu dan tidak semua perempuan seberuntung wanita yang independen," tiba-tiba aku ingin membekap mulutku sendiri.
"Mungkin mereka salah memilih," kawanku menatapku tajam. 'Tuh kan aku sudah duga dia akan bilang begitu,' aku berkata dalam hati.
"Bagaimana dengan seorang wanita yang menikah dengan pria lulusan SD, kisah nyata 1983, kubaca di majalah Kartini," aku mencoba membelokkan pendapat dia dan meringis, teringat tanteku mencubit lenganku ketika mendapati aku membaca majalah wanita dewasa.
"Mungkin sebenarnya dia tidak bahagia," kawanku Jeng Kelit masih bertahan dengan pendapatnya. Imajinasiku melihat Jeng Kelit berada di tepi jendela puri yang tinggi, melambaikan tangan kepada satria berkuda yang siap-siap menangkap ketika tuan putri Jeng Kelit melompat ke pelukannya.
"Kepada wartawati majalah Kartini, wanita itu mengaku bahagia," nadaku meninggi.
Kawanku terdiam.
"Sayang, rejeki itu bisa datang dari mana saja. Tulang punggung bisa jadi seorang istri, tulang rusuk bisa jadi seorang suami."
Gelato Secret, 2019
Komentar