Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2008

Uniform

Pada dasarnya tiap orang itu unik. Tapi ketika ia berada dalam suatu kelompok, ada rasa sense of belonging di sana, dan memerlukan bukti identitas yang menyatukan, diciptakanlah seragam. Ikatan Sosial Tentu semua yang pernah mengenyam pendidikan formal mengalami ikatan berseragam di sekolah. Ada keharusan yang membuat anak didik mengerem kebebasannya (disiplin) untuk mau sedikit serupa dengan yang lain. Tidak saja rupa seragam tetapi juga cara mengenakannya pun diseragamkan. Ujung bawah kemeja harus dimasukkan ke sebelah dalam celana atau rok, misalnya. Aksesoris ketika mengenakan seragam pun tidak boleh macam-macam. Rambut tetap sama hitam, perhiasan secukupnya dan sebagainya. Untuk apa sih kita disiplin? Ya karena kita berkegiatan bersama orang lain, untuk menghindari benturan kepentingan, untuk meminimalisir tampilan kesenjangan sosial dan demi efisiensi dan efektifitas kegiatan. Seragam tidak ditujukan sebagai pemisah atau menciptakan sekat-sekat sosial. Jika memang seragam perlu

Jadi Manusia Merdeka dan Konsekuensinya (2)

Seperti yang ditulis seorang pakar psikologi, masalah KKN ternyata saat ini masih menunjukkan tiadanya manusia merdeka. Bukan karena pihak luar, tapi karena diciptakan sendiri, mmm.. Seperti kasus Urip dan Arthalytha . Awalnya, seorang Urip bermaksud menaikkan citra dirinya dengan segepok uang yang diterimanya (dengan syarat, cara mendapatkannya tidak ketahuan masyarakat) tentulah pamornya di lingkungan dan masyarakat naik sebagai orang yang kaya raya. Sayang, karena rekaman pembicaraan mereka tersiar, justru keadaan berbalik, harga diri beliau menurun, karena, tentu saja, dengan sejumlah uang yang diterimanya itu ia harus menerima apa saja yang diperintahkan Arthalytha . "Ini bisa dipahami karena logikanya orang yang memberi itu powernya lebih besar dari orang yang menerima," kata Zainal Abidin , Dosen Fakultas Psikologi UNPAD dan PASCA UI Depok. ( Kompas , Sabtu,16/08/08) Saat harga profesi bisa ditukar dengan nominal rupiah, seseorang bisa menderita inferiority complex

Jadi Manusia Merdeka dan Konsekuensinya

"Merdeka atau Mati!" dulu para pejuang kemerdekaan menjadikan seruan itu sebagai semangat juang.. Setelah sekarang merdeka, apakah semboyan semangat juang kita? Bukankah semenjak lahir kita telah menjadi manusia yang merdeka? Kita ingin merdeka seperti apa? Bebas seperti burung terbang ke angkasa (simak lagu Donna Donna yang sempat dilarang pada masa penjajahan) ? Atau menerima keadaan merdeka sebagai manusia dengan batasan peranan dan nilai-nilai yang harus terus dibawanya? Mari temukan dulu arti merdeka... Dari hasil search engine tentang arti merdeka , ternyata kebanyakan orang sama seperti saya, sama2 mempertanyakan arti merdeka... :) Seorang filsuf mengandaikan kemerdekaan seperti senar gitar yang dapat bersuara merdu, justru ketika kedua ujung diikat sedemikian rupa sehingga satu senar dengan lainnya punya nada yang berbeda-beda. Apakah kemerdekaan itu harus ada batasannya? Atau, apakah merdeka identik dengan bahagia, kemakmuran dan kemajuan? Dulu saat masih terjaja

Horeluya

Judul: Horeluya Penulis: Arswendo Atmowiloto Penerbit: PT Gramedia Pustaka utama Tahun: April 2008 Tebal: 240 hal, 20 cm Genre: Adult Fiction Buku yang masuk segmen minoritas ini seperti ingin menanggapi trend sastra yang sedang diminati kalangan mayoritas (tepatnya skala mayor minor di Indonesia saja). Saatnya nanti akan membedakan apakah novel ini cukup menarik minat banyak orang untuk juga difilmkan menimbang skala mayor dan minor tersebut. Tapi ini cuma berandai segmen pasar aja kok. Isi novel menampilkan kondisi sekarang dengan latar belakang keluarga Jawa iman Katholik. Cahaya dalam keluarga meredup ketika penerang mereka Lilin, jatuh sakit. Banyak hal kemudian dipertanyakan, untuk mengkritisi kebahagiaan sendiri juga iman sendiri: Apakah dalam sengsara kita masih dapat memuliakan Allah? Apakah masih dapat disyukuri? Mengapa orang Katholik berdoa di depan patung? Seperti ingin menertawakan fobia terhadap simbol2, semua ingin menjelaskan realitas iman...

Humor Itu Indah (2)

Arti Humor Humor berasal dari bahasa Latin, umor artinya cairan. Orang Yunani kuno menganggap suasana hati ditentukan oleh 4 macam cairan: darah (sanguis), dahak (phlegm), empedu kuning (choler) dan empedu hitam (melancholy). Humor Menurut Sigmund Freud Berdasarkan motivasi penyampaian humor, Sigmund Freud membagi humor menjadi: comic, humor dan wit-comic. Comic adalah lelucon tanpa motivasi, hanya mengandalkan teknik melucu saja. Contoh: Bagaimana memasukkan 6 gajah ke dalam VW? Taruh saja 3 kursi di depan dan 3 kursi di belakang. Humor : Lelucon dengan motivasi, menggoda atau menertawakan orang lain. Sedangkan Wit : sama dengan humor tapi lebih intelek perlu kecepatan berpikir untuk menangkap kelucuannya. Media Humor Media humor tidak saja dalam pementasan/ parodi/ lawak, tapi bisa ditemui dalam tulisan bahkan lukisan. Bahkan humor telah dijadikan salah satu jenis terapi yang dapat menyembuhkan pasien, simak true story movie "Patch Adams ". Obyek Humor Kalau kita simak la

Humor Itu Indah

Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang sulit tertawa? Kecuali sakit gigi atau sedang stress berat, selera humor seseorang menandakan kadar kesehatan psikologisnya... Kalau terlalu banyak tertawa dikira orang gila, tapi kalau terlalu sedikit bisa dituduh depresi berat. Menurut Romo Mangun dari buku yang ditulisnya, orang yang dapat menertawakan kesedihannya adalah orang yang bahagia... Termasuk juga orang yang dapat menertawakan kekurangan2nya...Beberapa ulasan media dan tokoh populer sempat menyebut Tukul sebagai contoh pribadi humoris yang baik, simbol orang yang rela dicela, menjadikan dirinya sendiri obyek humor.. Kalau dalam tehnik melawak ada tehnik pancingan dan umpan, saya lihat Tukul bisa sekaligus menjadikan dirinya sebagai pancing dan umpan :) Sangat kontra dengan para pejabat yang sangat sensitif dengan kritikan, entah kritikan yang membangun atau merusak sama saja tanggapannya, buru2 mengajukan polemik di media. Mungkin supaya kritik2 yang disampaikan dengan tulus dapat

Antara FOKUS dan Eksplorasi

Belajar dari seorang Luca Toer , pelukis di media tiket metro, saya semakin menyadari bahwa harusnya eksplorasi itu tiada habisnya. Melukis pun bisa kapan saja dimana saja dan dengan media apa saja... Inginnya saya dalam menulis juga begitu... Hanya kadang saya suka lupa mencatat karena lupa membawa kertas dan bolpen seperti saran Mas Hariyanto , jurnalis independen. Sadar bahwa saya mempunyai sedikit kesempatan untuk membaca koran atau buku, saya memilih media televisi untuk menggali pengetahuan dan memperluas wawasan saya, kadang juga radio saat 'terdiam' di busway atau mikrolet. Mungkin jadinya dengan durasi yang selalu singkat di media tersebut, bahasannya tidak terlalu dalam, tapi cukup buat saya untuk menulis singkat di blog. Sebenarnya sumber pengetahuan yang paling baik adalah buku tapi entah mengapa waktu yang tercuri sedikit-sedikit membuat saya tidak konsentrasi dan malah sering lupa lagi isi sebagian dari buku yang sudah saya baca sebelumnya. :( Salah satu masalah

Penghilang Bau Alami

Baru-baru ini telah ditayangkan TVC tentang produk penyerap bau yang dipromosikan bagi para Ibu Rumah Tangga. Mmmmm daripada repot2 untuk sering2 beli sementara bau amis dlll di dapur terjadi tiap hari... tahukan bahwa sebenarnya ada Penghilang Bau Alami? Perkenalkan Sansevier a atau Lidah Mertua. Tanaman ini dapat menyerap zat-zat beracun... seperti yang telah direkomendasikan NASA tentang tanaman filter polusi udara . Perbandingan antara jumlah tanaman yang diperlukan dan luasnya area adalah: 15 - 18 tanaman dalam wadah berdiameter 6 - 8 inchi untuk setiap 1800 kaki persegi ruangan/rumah. Untuk sehari-hari, letakkan Sanseviera di dalam ruang dapur yang bau amis. Dalam beberapa waktu bau tersebut akan hilang. Mmm rupanya Sanseviera memang sedang naik daun. Tanaman ini punya multi fungsi selain sebagai penghias tanaman juga sebagai anti politan dan anti radiasi, jadi sangat cocok ditempatkan dalam lingkungan yang berpolusi... Kabarnya di kalangan para penjual tanaman, mereka mempromosi