Langsung ke konten utama

Tragedi Pus Mungil

"Dia mati," Ropik kembali masuk ke dalam rumah.
"Hah?," aku kaget beneran. Iya, tidak menyangka pus mungil itu tiada secepat itu.
"Tadi sekelebatan aku melihat buntut kucing dewasa," Ropik terduduk dengan wajah setengah tidak percaya. "Dan itu induknya. Leher si Kuneng terluka seperti bekas gigitan."
"Kamu mau bilang induknya yang..?"
Ini tidak sesuai harapan. Menyedihkan.
Bencana kehewanan. 
"Padahal aku taruh Soklat dan Kuneng di depan rumah supaya... " lelaki tinggi legam itu tidak melanjutkan bicaranya.
"Supaya induknya menemukannya dan memberinya susu. Atau supaya ada yang kasihan dan memeliharanya," aku cepat menukas, memastikan jalan pikiranku sama dengan pria ini. Ropik mengambil tanah dan pasir dan menaruhnya dalam ember semen. Si Kuneng yang malang dikuburkan dengan hormat. 
"Eh, ke mana si Soklat?" hanya Kuneng yang kulihat ditimbun tanah.
"Mungkin dibawa induknya, mungkin diambil orang, aku tak tahu," Ropik menjawab sambil mencuci tangannya.
"Induk yang aneh. Awalnya dia meninggalkan kedua anaknya. Lalu  ternyata dia hanya sayang pada satu anaknya saja."
Aku memahami mengapa Ropik tidak bisa memelihara pus. Tapi aku tidak paham dengan tragedi pus mungil ini. Mengapa? Maafkan ya, Pus.

Tamat.

Komentar