Pada dasarnya tiap orang itu unik. Tapi ketika ia berada dalam suatu kelompok, ada rasa sense of belonging di sana, dan memerlukan bukti identitas yang menyatukan, diciptakanlah seragam.
Ikatan Sosial
Tentu semua yang pernah mengenyam pendidikan formal mengalami ikatan berseragam di sekolah. Ada keharusan yang membuat anak didik mengerem kebebasannya (disiplin) untuk mau sedikit serupa dengan yang lain. Tidak saja rupa seragam tetapi juga cara mengenakannya pun diseragamkan. Ujung bawah kemeja harus dimasukkan ke sebelah dalam celana atau rok, misalnya. Aksesoris ketika mengenakan seragam pun tidak boleh macam-macam. Rambut tetap sama hitam, perhiasan secukupnya dan sebagainya.
Untuk apa sih kita disiplin? Ya karena kita berkegiatan bersama orang lain, untuk menghindari benturan kepentingan, untuk meminimalisir tampilan kesenjangan sosial dan demi efisiensi dan efektifitas kegiatan.
Seragam tidak ditujukan sebagai pemisah atau menciptakan sekat-sekat sosial. Jika memang seragam perlu dikenakan sebagai penanda kelompok untuk tugas tertentu, sikap pemakainya tidak perlu berseberangan, superior atau inferior. Bagaimanapun seragam yang sengaja diciptakan untuk menciptakan sekat sosial adalah salah satu bentuk kekerasan struktural.
Tanda Profesionalitas
Di tempat kerja, seragam yang dikenakan akan menunjang pekerjaan. Misalnya orang yang bekerja di lapangan, seragam yang dikenakan kurang lebih kasual dan membuatnya bebas bergerak, dan kantong-kantung di baju dan celana panjangnya dibuat untuk menempatkan alat pertukangan. Dan pekerjaan tertentu membuat karyawan perlu mengenakan seragam sebagai representasi perusahaan.
Ekspresi Budaya
Tidak hanya merepresentasi suatu kelompok dalam menghadapi kelompok lain dalam kelompok masyarakat yang lebih besar, seragam juga mewakili karakter suatu kelompok atau corporate culture tertentu.
Bulik mengeluarkan bungkusan plastik bahan brukat warna kuning keemasan.
"Ini seragam kita, Nge."
"Oh, saya nggak dapat, Bulik. Tapi saya punya kok kebaya yang warnanya serupa itu."
Mas Djangkriek memberikan bungkusan bahan brukat,
"Kamu minta ya sama Bude?"
"Nggak. Kok, tiba-tiba aku dikasih bahan?"
"Nggak tahu."
"Sudah dapat bahan to Mbak?" bulik seakan sudah mengetahui itu.
"Sudah, Bulik, nggak tahu, tiba-tiba ada yang nganterin bahan itu."
Pada hari H, saya sudah tahu bahwa warna bahan saya berbeda sedikit dengan yang lain, lebih oranye dan lebih murah. Sebenarnya saya lebih senang memakai kebaya saya yang lain, tetapi supaya serupa saya pakai juga. Dan di suatu pojok gedung saya bertemu dengan YU-YU yang membantu memasak di dapur katering. Warna bahan kebaya mereka sama persis dengan yang saya kenakan.
Ikatan Sosial
Tentu semua yang pernah mengenyam pendidikan formal mengalami ikatan berseragam di sekolah. Ada keharusan yang membuat anak didik mengerem kebebasannya (disiplin) untuk mau sedikit serupa dengan yang lain. Tidak saja rupa seragam tetapi juga cara mengenakannya pun diseragamkan. Ujung bawah kemeja harus dimasukkan ke sebelah dalam celana atau rok, misalnya. Aksesoris ketika mengenakan seragam pun tidak boleh macam-macam. Rambut tetap sama hitam, perhiasan secukupnya dan sebagainya.
Untuk apa sih kita disiplin? Ya karena kita berkegiatan bersama orang lain, untuk menghindari benturan kepentingan, untuk meminimalisir tampilan kesenjangan sosial dan demi efisiensi dan efektifitas kegiatan.
Seragam tidak ditujukan sebagai pemisah atau menciptakan sekat-sekat sosial. Jika memang seragam perlu dikenakan sebagai penanda kelompok untuk tugas tertentu, sikap pemakainya tidak perlu berseberangan, superior atau inferior. Bagaimanapun seragam yang sengaja diciptakan untuk menciptakan sekat sosial adalah salah satu bentuk kekerasan struktural.
Tanda Profesionalitas
Di tempat kerja, seragam yang dikenakan akan menunjang pekerjaan. Misalnya orang yang bekerja di lapangan, seragam yang dikenakan kurang lebih kasual dan membuatnya bebas bergerak, dan kantong-kantung di baju dan celana panjangnya dibuat untuk menempatkan alat pertukangan. Dan pekerjaan tertentu membuat karyawan perlu mengenakan seragam sebagai representasi perusahaan.
Ekspresi Budaya
Tidak hanya merepresentasi suatu kelompok dalam menghadapi kelompok lain dalam kelompok masyarakat yang lebih besar, seragam juga mewakili karakter suatu kelompok atau corporate culture tertentu.
Bulik mengeluarkan bungkusan plastik bahan brukat warna kuning keemasan.
"Ini seragam kita, Nge."
"Oh, saya nggak dapat, Bulik. Tapi saya punya kok kebaya yang warnanya serupa itu."
Mas Djangkriek memberikan bungkusan bahan brukat,
"Kamu minta ya sama Bude?"
"Nggak. Kok, tiba-tiba aku dikasih bahan?"
"Nggak tahu."
"Sudah dapat bahan to Mbak?" bulik seakan sudah mengetahui itu.
"Sudah, Bulik, nggak tahu, tiba-tiba ada yang nganterin bahan itu."
Pada hari H, saya sudah tahu bahwa warna bahan saya berbeda sedikit dengan yang lain, lebih oranye dan lebih murah. Sebenarnya saya lebih senang memakai kebaya saya yang lain, tetapi supaya serupa saya pakai juga. Dan di suatu pojok gedung saya bertemu dengan YU-YU yang membantu memasak di dapur katering. Warna bahan kebaya mereka sama persis dengan yang saya kenakan.
Komentar