Aku yang merusak
suasana sebenarnya. Aku yang selalu lebih dulu merasa bahwa setiap orang pasti
membutuhkan aku. Aku yang berambisi ingin jadi teman yang paling baik untuk
semua orang. Ternyata tidak. Nyatanya Zakki tidak butuh aku. Tepatnya tidak
peduli dengan aku yang semakin bersikap ingin jadi pahlawan baginya, ini kataku
sendiri, tentang aku yang belum kapok untuk mengajaknya bicara.
Sebenarnya aku ingin
menaiki batu karang yang tinggi yang puncaknya sedang diduduki oleh Zakki. Tapi
aku kuatir lamunannya buyar, terganggu kehadiranku. Buih-buih debur ombak yang
menghampiri kakiku seperti pigura laut yang tenang, menghanyutkan. Dengan
menatap laut seringkali aku mendapati ritme nafasku jadi lebih panjang, dan
benang kusut di kepalaku merebah.
Zakki melompat dari
trap batu karang yang paling bawah, melihat ke arahku dan melengos, sambil
memasukkan buku catatan dan ballpoint ke saku celananya.
“Laut membuat orang
melamun,” aku mencoba memulai lagi percakapan, berjalan menyusulnya.
“dan umumnya mereka
yang datang ingin melihat laut adalah orang yang sedang dalam banyak masalah.”
“Itu kan umumnya,
tidak selalu begitu, “ Zakki akhirnya angkat bicara, itu membuat hatiku memekik
senang.
Satu bola sepak
menggelinding ke tengah kami, Zakki menendangnya ke arah anak-anak usia sekolah
dasar yang sedang bermain bola 2 meter dari tempat kami berjalan pelan.
“Apa yang kau tulis?”
Zakki hanya tersenyum
sinis, tidak menjawab pertanyaanku. Dadaku sedikit ngilu lagi, ‘betul kan, dia
tidak ingin berbagi apa-apa denganku’.
Tadi malam, ketika
aku duduk di sampingnya, di depan api unggun yang jadi saksi, Zakki membuka
kemelut hatinya. Untuk semua yang ada di sana sebenarnya, bukan untukku saja.
Kami sedang bermain curahan hati, berkumpul di depan api unggun, sambil
menunggu beberapa teman yang sedang berendam spa air panas di dekat kemah kami.
“Teman-teman, menurut
kalian, penyakit apa yang paling mematikan?”
“Malaria,” aku
menyahut sekenanya. Sebenarnya bukan asal-asalan karena aku pernah mendengar
cerita temanku meninggal karena malaria dalam hitungan 3 hari. Tapi aku sangsi
juga karena temanku yang lain, orang Papua sudah terbiasa dengan malaria
seperti penyakit batuk pilek orang Jakarta.
“Malaria?” Zakki
menoleh dengan wajah kecewa. Mungkin dia tidak menyangka aku akan menebak
seceroboh itu. Tentu saja aku tidak bisa menebak apa yang mau dikatakan Zakki.
“Menurut kamu bukan
malaria?”
Zakki menggeleng,
“yang lain?”
“Kangker.”
Kali ini Zakki
mengangguk.
“Sebulan yang lalu
saya divonis kangker hati oleh dokter.”
“Serius?” kali ini
aku menghentikan permainan cahaya senterku. Senter aku arahkan ke atasnya.
“Teman sebangku saya
di masa kuliah, meninggal 2 tahun kemudian setelah divonis penyakit yang sama.
Sejak itu saya tidak pernah lupa.”
Aku berusaha mencerna
kata-katanya, tentu maksud Zakki adalah, dia tidak akan pernah lupa bahwa
penyakit itu yang akan membawanya meninggal di usia muda.
Satu pelajaran
penting untuk bisa menjadi sahabat seorang yang sakit keras adalah tidak pernah
membicarakan soal sakitnya. Sayangnya itu baru aku pelajari setelah seminggu
setelah kami kemping bersama, dia blok whatsupp dan tidak menjawab
pesan-pesanku bahkan tidak menjawab telpon dariku.
Salahku, aku tanya
apakah dia sudah makan buah bit untuk menambah HB. Salahku karena merasa lebih
tahu dan bersemangat memberitahunya bahwa sehabis kemoterapi seorang penderita
kangker harus makan buah bit.
“Bukan saja
haemoglobine Mbak, tetapi kondisi seorang penderita kangker dalam banyak aspek
akan menurun tingkatan ketahanannya,” Yani, temanku yang berprofesi sebagai
perawat menjelaskan.
“Yang dibutuhkan
seorang penderita kangker adalah teman dan ditemani.” Yani menasehati sambil
tangannya sibuk menakar obat-obat yangi disiapkan untuk para pasien rawat inap.
Kata-kata itu menusuk
ulu hati. Ya, tapi Zakki tidak butuh aku sebagai teman, kata hatiku setengah
menangis.
“Mbak, bukannya Mbak
Tiara sudah punya pacar?” Yani membuyarkan lamunanku.
“Maksudnya?” aku
tidak mengerti arah pembicaraannya.
“Maksudku, apakah pacar Mbak tidak akan marah kalau Mbak
mendekati Zakki?”
Mengertilah aku
sekarang.
“Yan, begini, aku
punya cerita. Suatu hari, ada seorang back packer yang berhenti dan makan di
sebuah warung. Angin kencang bertiup. Dia melihat penjajanya seorang gadis
menggigil kedinginan. Dipakaikannya jaketnya ke tubuh gadis itu. Ketika angin
sudah berhenti bertiup dan dia sudah selesai makan, pemuda itu pergi tanpa
meminta kembali jaketnya dan tidak pernah kembali lagi. Apa kata orang-orang
yang melihatnya? Ada yang bilang dia itu laki-laki yang tidak setia karena
tidak mau menemui gadis itu lagi. Tapi ada yang bilang pemuda itu begitu tulus,
dia memberikan jaket itu pada si gadis bukan karena ingin menuntut sesuatu
darinya, ingin menjadikannya pacar, misalnya.”
Yani tersenyum dan
memelukku. Seperti ingin membuktikan
kata-kataku, bahwa aku tulus ingin bersahabat dengan Zakki dan bahwa Pram
pacarku tahu persis setiap kemelut yang menimpaku, aku pergi menjauhi Yani ke
sudut lorong yang jauh dari kamar para pasien rawat inap. Aku beritahu Pram bahwa aku ingin pulang
sendiri tidak perlu dijemput.
Seorang pernah berkata bahwa sakit
kangker itu seperti dapat undian, bukan suatu yang dinanti tapi tidak bisa
dihindari. Mobil yang kami tumpangi memasuki area parkir tengah kota, 13 orang
berlompatan keluar.
“Zakki, ayo tanding game lagi” Deni
salah seorang teman kami, menjabat tangan Zakki.
“Nanti kamu nangis kalah.”
“Zakki sampai ketemu lagi,” aku
menjabat tangannya erat-erat. Zakki
tidak mau memandangku dan cepat melepas tangan dan menjauh.
Sayup-sayup, ketika kami berpisah
di akhir pekan kami kemping itu, aku
mendengar Zakki bersenandung lagu yang tidak jelas apa. Aku tidak pernah
tahu dan tidak berani berharap apakah kami akan bertemu lagi suatu saat nanti.
Pesan whatsupp dari Deni datang.
“Tiara, ingat Zakki, teman kita
yang solider sering jaga tenda, malas makan, dan S3 Komputansi?” Deni adalah salah seorang dari 13 teman yang juga
ikut kemping di akhir pekan itu.
“Ya, bagaimana, Deni?”
“Dia meninggal. Kamu ingat kan
bahwa dia pernah bilang bahwa dia sakit kangker limfa?”
“Ya” kali ini aku mengetik dan
mengangguk sekaligus dengan energi yang berkurang.
“Kapan tepatnya dia meninggal?”
“40 hari yang lalu.”
“Kok baru kasih kabar Den?”
“Aku baru ingat, sorry Tiara. Kamu
mau datang di sembahyangannya? Atau mau nyekar ke makamnya?”
“Aku mau nyekar di makamnya, kamu
mau temani, aku, Den?”
“Okay.”
Aku dan Deni berjalan menuju makam
yang tampak masih baru. Di atas nisan
tertulis Muhammad
Zakki dan ada kata-kata terukir,
“Teman-teman, saya sangat senang,
terima kasih.”
Tak sadar aku meneteskan air mata,
aku merasa tidak mendapat kesempatan menjadi seorang teman yang baik untuk
Zakki. Tapi dia bilang dia sangat senang, dan mengucapkan terima kasih.
“Deni, apakah selama kamu menemani dia, dia pernah merasa
bahagia?”
Deni mengangguk, “Dia bilang dia
bersyukur punya teman-teman yang baik.”
Aku ingin sekali bertanya, apakah
aku adalah salah seorang yang masuk kategori teman-teman yang baik, tetapi
alangkah memalukan kalau aku bertanya begitu.
“Zakki bilang, kamu terlalu
kuatir,” Deni tersenyum. “Dia cerita bahwa dia blok wa kamu, tapi untuk
kebaikan kamu juga, supaya kamu nggak semakin sedih. Dia tidak ingin teman-temannya
sedih. Seperti dia bilang, hidup itu indah, Ti. Dia buat aransemen lagu ini
untuk kamu. Zakki ingin kamu bahagia. Seperti dia sudah bahagia sekarang. Kamu
boleh pakai untuk single lagu kamu yang terbaru.”
Lambat-lambat aku menyenandungkan
gubahan Zakki tanpa terasa air mata menetes kemudian:
Dan Bernyanyilah
Saat dirimu
Terhanyut dalam seri yang kau rasakan
Seperti mendung hitam
Cobalah engkau sadari
Bahwa hidup ini terlau indah
Untuk ditangisi
Uuuuuu...Uuuuuuu...
Dan bernyanyilah
Senandungkan isi suara hati
Bila kau terluka
Dengarkan alunan lagu
Yang mampu menyembuhkan lara hati
Warnai hidupmu kembali
Menarilah
Bernyanyilah
Saat jiwamu
Terlarut dalam gundah dan seakan
Tiada jalan keluar
Cobalah engkau pahami bahwa hidup ini '
Terlalu singkat untuk disesali
Uuuuuu...Uuuuuuu...
Dan bernyanyilah
Senandungkan isi suara hati
Bila kau terluka
Nyanyikan alunan lagu
Yang mampu menyembuhkan lara hati
Warnai hidupmu kembali
Menarilah
Bernyanyilah
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan
Dan bernyanyilah
Senandungkan isi suara hati
Bila kau terluka
Nyanyikan alunan lagu
Yang mampu menyembuhkan lara hati
Warnai hidupmu kembali
Menarilah
Bernyanyilah
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan
Saat dirimu
Terhanyut dalam seri yang kau rasakan
Seperti mendung hitam
Cobalah engkau sadari
Bahwa hidup ini terlau indah
Untuk ditangisi
Uuuuuu...Uuuuuuu...
Dan bernyanyilah
Senandungkan isi suara hati
Bila kau terluka
Dengarkan alunan lagu
Yang mampu menyembuhkan lara hati
Warnai hidupmu kembali
Menarilah
Bernyanyilah
Saat jiwamu
Terlarut dalam gundah dan seakan
Tiada jalan keluar
Cobalah engkau pahami bahwa hidup ini '
Terlalu singkat untuk disesali
Uuuuuu...Uuuuuuu...
Dan bernyanyilah
Senandungkan isi suara hati
Bila kau terluka
Nyanyikan alunan lagu
Yang mampu menyembuhkan lara hati
Warnai hidupmu kembali
Menarilah
Bernyanyilah
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan
Dan bernyanyilah
Senandungkan isi suara hati
Bila kau terluka
Nyanyikan alunan lagu
Yang mampu menyembuhkan lara hati
Warnai hidupmu kembali
Menarilah
Bernyanyilah
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan
Huk. Zakki, seorang yang aku pikir
semakin melemah karena sakitnya semasa hidupnya justru menguatkan aku lewat
lagunya #DanBernyanyilah.
Zakki, selamat jalan menuju
keabadian. Aku akan bahagia untuk kamu juga.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co.
Komentar
Btw sukses lombanya mbaa