Saya tidak yakin apakah saya masih tergolong anggota masyarakat adat Jawa Tengah. Praktisnya tentu tidak. Pertama, karena sejak lahir saya tinggal di kota kosmopolitan Jakarta. Di sini, ada interaksi berbagai macam budaya daerah. Kedua, orang tua saya, meskipun keduanya Jawa, tidak pernah berbicara dalam bahasa Jawa di rumah. Ketiga, karena miskinnya pengaruh budaya asli Jawa seperti dari mana nenek moyang saya berasal, setiap kali berbicara dalam bahasa Jawa logat saya terdengar wagu atau tidak pantas. Menyedihkan buat saya jika seorang keturunan Jawa tidak bisa berbahasa Jawa. Jadinya kalau ditanya aslinya mana? Lebih akurat kalau saya bilang bahwa saya orang Jakarta.
Menurut AMAN atau lembaga yang memperjuangkan nasib masyarakat adat, indigineous people (Eng.) adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara
turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas
tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum
adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan
masyarakatnya.
Jadi, mestinya, tidak ada masyarakat adat di Jakarta, menurut pemahaman sederhana saya. Tapi kehidupan adat harus dilestarikan di Indonesia.
Mengapa?
Di seberang pulau Jawa, di mana tanahnya sudah bergelombang karena bekas tambang (terima kasih Tuhan, pekerjaan saya sebagai transcriber membuat saya 'travelling' lewat ujung jari saya), masyarakat adat pun semakin punah. Penguasa kapital datang ke sana untuk mengeruk hasil tambang dengan bekal perijinan yang bisa dibeli dari pemerintah daerah dengan mudah. Masyarakat asli yang berpendidikan rendah tergusur dengan iming-iming janji yang nilainya tidak sebanding dengan harga tanah yang digali, dikeruk dan ditinggalkan begitu saja. Sementara sebagian besar mata pencarian masyarakat adat di Indonesia khususnya di pedalaman adalah petani dan peladang.
Kabar gembiranya secara teori memang peradilan adat diakui di Indonesia. Tapi prakteknya, pada akhirnya mereka tidak dapat hidup mandiri dan berkembang tanpa bantuan penguasa kapital dan pemerintah daerah, salah satunya karena rendahnya pendidikan. Jika untuk makan saja susah, bagaimana lagi mereka dapat sekolah apalagi menyelenggarakan upacara adat untuk melanggengkan nilai yang sudah diwariskan turun temurun?
Sebenarnya bangsa Indonesia sungguh kaya dengan kebudayaan daerah dan mulai terusik ketika hasil budayanya diakui berasal oleh negara lain. Karena keprihatinan ini, hal yang menurut saya secara praktis dan minimal yang dapat diusahakan untuk melestarikan masyarakat adat di lingkungan terdekat salah satunya adalah dengan bergabung di suatu komunitas kebudayaan daerah. Selain melestarikan kita juga bisa belajar soal nilai filosofis dari kearifan lokal yang pastinya tidak akan lekang dimakan jaman.
Komentar