Hujan deras, kali ini yang super deras, mengguyur Jakarta lagi. Saat berdiam diri di dalam Kopaja 66 menuju pulang ke rumah orang tua kawasan Kebayoran Baru tiba-tiba masuk seorang Bapak tukang asongan ke dalam Kopaja tempatku menumpang. Dia tersenyum ke arahku dan aku menunjuk ke sebuah kursi kosong, tidak diduduki karena di atasnya atap Kopaja meneteskan bocoran air hujan. Bapak itu hanya tersenyum saja, tidak mau duduk di situ. Mungkin karena dia tidak berniat membayar kepada kenek meski hanya Rp 4,000 saja. 'Cuma', menurutku tapi mungkin jumlah rupiah itu terhitung banyak untuk si Bapak. Setelah aku asyik dengan MP-player, mengubah channel lagu yang aku suka, aku toleh ke belakang, Bapak itu sudah tidak ada, lenyap disapu hujan deras di luar sana. Tidak lama aku juga merasakan derasnya hujan di luar Kopaja karena Bapak sopir memaksa kami para penumpang pindah ke Kopaja lainnya ketika jarak untuk sampai Blok M, depan Pasaraya tinggal 3 KM lagi. Mungkin bagi Bapak sopir, kami masing-masing seharga Rp 4,000 rupiah saja dan dia harus cepat-cepat pulang ke rumahnya yang kuatir sudah kebanjiran. Koor omelan spontan keluar dari mulut penumpang, tapi tidak mengubah sikap otoriter sopir dan kenek bus.
Ibu penjual kripik pisang. |
Aku ketemu ibu yang gambarnya di atas ini dalam perjalanan menuju Taman Ismail Marzuki (TIM) suatu Minggu sore di angkot menuju Lebak Bulus. Beliau membawa 2 (dua) kardus kripik pisang. Untung kripik pisang, bukan batu bata, bukan kategori barang yang berat untuk Ibu ini. :) Tapi ini sangkaku saja. Siapa tahu tenaganya lebih kuat dariku, karena kekuatan itu timbul dari pembiasaan. Satu plastik kecil isi sepuluh potongan kripik sebesar daun rambutan berharga Rp 2,000 rupiah. Dari wawancara hasil curi dengar dengan percakapannya dengan seorang Ibu di depannya, beliau membuat sendiri kripik pisang itu untuk dijual di suatu warung Tegal (warteg) di Lebak Bulus. Aku beli 20 ( dua puluh) untuk teman-teman sanggar menari di TIM dan rasanya enak, teman-temanku suka.
Belajar dari 2 (dua) peristiwa tadi, aku menyadari, kadang kita cepat protes, cepat menunjukkan ketidakpuasan kita terhadap orang lain tanpa mau mengetahui bagaimana prosesnya, bagaimana perjuangan seseorang itu,
Padahal, tidak semua orang beruntung. Kategori beruntung itu adalah ketika tua dia sudah tidak harus bekerja lagi tinggal menunggu sangu dari anak cucu. Atau dia sedari muda sudah bekerja dengan sistem multil level marketing (MLM) sehingga di masa tua dia kipas-kipas menikmati kekayaannya. Atau bahkan ada sebagian orang lanjut usia yang lebih bahagia kalau dirinya masih bekerja mencari uang sendiri selama tenaganya masih ada, sebagai kepuasan pemberdayaan diri. Ada nikmatnya bekerja keras sampai tua.
Padahal, dengan memahami bahwa tiap orang sama-sama berjuang mencari
uang, mungkin kita akan lebih peduli terhadap orang lain dan tidak
membuang energi untuk merengut dan ngomel-ngomel kalau mendapatkan
perlakuan
yang kurang memuaskan dari orang lain.
Marilah siap memperhatikan, bertanya dulu mengapa dan
bagaimana.
Komentar