Langsung ke konten utama

Kompetensi Mengalahkan Nepotisme dan Kolusi


Pengalaman yang selalu saya ingat dan menjengkolkan adalah pengalaman ketika akan masuk ke SMA homogen favorite di bilangan Jakarta Selatan. Setiap kali mau masuk ke jenjang berikutnya meski sekolah itu berasal dari yayasan yang sama, saya pasti selalu melalui screening-nya, selalu ikut test dan lulus. Itu namanya ikut proses. Tapi Kanjeng Ratu lebih merasa total, justru jika mengikuti cara kebanyakan, nepotisme. Beliau mengajakku menemui dulu penguasa di sekolah, Suster Kepala, di SMA homogen favorite yang akan aku masuki. Katanya, beliau mau mengenalkanku dengan Suster Kepala sebagai future student. Untuk apa, kataku. I deserve to be recognized as illegible student after passing the screening test.

Harusnya ketika menimbang faktor itu, faktor bakal dituduh kolusi pun harus dipertimbangkan. Seperti kata kenalan pada waktu itu,
"Waktu itu sih ada orang tua dari Medan yang bayar masuknya 2 juta." Beliau senyum-senyum. Muka saya panas telinga terbakar. Haduh, saya cuma mau ikut ujian, hiks....
"Nomor ujiannya berapa?"
Muka Tante itu seperti mengejek dan membuat perutku mulas. Kami dituduh ingin kolusi. Salah si Tante? Tentu tidak.

Bagaimana menghindari pandangan orang kebanyakan akan itikat nepotisme dan kolusi kalau sebelum saya bertanding, saya harus mendekati dulu penguasanya?

Aku segera menarik Kanjeng Ratu: pulang.  

Mommy, we have to beware.

Saya bisa membuktikan bahwa kompetensi bisa mengalahkan Nepotisme dan Kolusi. Foto di atas adalah foto dengan teman-teman sekelas, menjelang kelulusan dari SMA almamater saya. :)

Selanjutnya apakah Nepotisme itu buruk? Bagaimana pun this type of human kindness sangat berharga untuk Bapak saya ketika memulai hidup di Jakarta sehingga berarti juga bagi anak-anaknya sekarang ketika menerima tunjangan kesehatan Bapak dari Negara setelah beliau pensiun dari Pegawai Negeri Sipil. Do am I so stiff?

Komentar