Langsung ke konten utama

Ibu dan Anak Perempuan


Seperti biasa aku bertetangga di Facebook. Di Wall tiba-tiba aku lihat seorang sobat memasang foto keluarga dengan judul serupa dalam bahasa Inggris: My Family. Lalu aku amati satu per satu. Kebetulan aku kenal banget dengan mereka sekeluarga Bapak, Ibu dan 4 orang anaknya. Tapi ada satu orang yang tidak ada di antara foto-foto itu. Foto seorang Ibu, seorang Ibu yang sudah melahirkan 4 anak, yang tampak bahagia itu. Apakah Ibu itu bahagia? Tidak terlihat dalam foto keluarga. Padahal dia masih hidup.

Aku sendiri tanpa sadar menuntut kesempurnaan dengan lebih keras kepada Ibuku daripada Bapakku. Aku tidak bisa terima jika dia tampak tidak bertanggung jawab. Aku tidak bisa terima jika dia jauh dari ukuran idealku. Sebaliknya, kadang aku merasa komentar-komentarnya bernada iri atau menghina, yang kadang membuatku heran apakah hubungan antara Ibu-Anak bisa sesederhana hubungan perempuan dengan perempuan?

Aku berusaha tidak seperti ibuku tetapi semakin keras aku menyangkalnya malah semakin lekat. Mungkinkah apa yang aku rasakan ini seperti yang dialami ibuku? Dia bilang, "Kamu nggak usah seperti Ibu ya?" Aku bilang, "Siapa yang ingin seperti Ibu?" Lalu suamiku juga memberi alarm ketika aku kecapekan dan kaki bengkak-bengkak: "Kamu nggak perlu meniru ibumu." Rupanya inilah rantai luka batin akan usaha kesempurnaan dan pengalaman sebagai ibu dan anak perempuan. Apakah yang dapat memutusnya? Mungkin kehendak bebas.

Komentar

Nge, ini sepertinya bukan rantai luka batin. Ini adalah warisan pendidikan bawah sadar manusia.

Memang aneh, hal-hal yang tidak kita senangi pada ibu kita terkadang secara tidak sengaja kita tiru.

Apalagi sebagai anak pertama, ada persaingan antara ibu dan anak perempuan pertama untuk mencari perhatian sang ayah (begitu yang pernah saya baca) sehingga kemungkinan pergesekan yang ada lebih besar.

Jadi jangan heran kalau hubungan mertua perempuan dan menantu perempuan sering bermasalah, wong sama anak perempuan sendiri belum tentu klop hehehe...

Wah sepertinya kesimpulan akhirnya harus belajar komunikasi antar perempuan dengan benar nih....hehehe....
Rediningrum Setyarini mengatakan…
Iya betul. Saling memahami, kali ya, mestinya kan sesama perempuan itu lebih mudah berempati. Saling mengoreksi tanpa perlu ada yang sakit hati mungkin nggak ya? Tapi juga tidak memaksa... Justru ini nilai plus dibanding dengan antara sesama lelaki yang sepengetahuanku kadang setia kawan dalam hal yang buruk. Just share...