"Cewek matre... cewek matre... ke laut aje..." seorang rapper muda Indonesia, menyanyikan syair tersebut... Saya jadi tersinggung, heheheheh...terutama karena saya cewek yang (percayalah) ga matre...:D Bukan berarti tidak butuh uang, atau materi, tapi maksudnya, saya bukan-lah perempuan yang money oriented... Mudah-mudahan ada lebih banyak perempuan yang mengemukakan pendapatnya seperti saya kemudian, mungkin dengan alasan logis yang berbeda... Yang lebih penting jangan biarkan stereotype seperti itu menimpa perempuan...Mengapa? Alasan logisnya, versi saya, dapat ditemui setelah selesai membaca artikel ini.
Saya bukan seorang feminis... Jadi, kalau saya bicara soal perempuan, terutama bukan karena saya membela kaum Hawa untuk melawan kaum Adam, atau bukan karena saya ini perempuan, tapi karena saya sering tidak menyetujui perlakuan tidak adil terhadap perempuan sebagai second class dalam masyarakat. Rasa kemanusiaan... bahwa setiap orang berhak mendapat penghargaan yang layak di masyarakat sesuai eksistensi dirinya: itu menjadi penjelasan latar belakang paparan saya tentang perempuan.
Sistem kekerabatan berdasarkan garis laki-laki (patriarki) ternyata...sampai masa modern ini semakin mendominasi sistem dalam masyarakat yang lebih luas... Meskipun kemudian pemahaman emansipasi, tepatnya untuk meredam keresahan pembela gerakan feminis, mulai diterima dengan misalnya, membuat aturan 30% anggota perempuan dalam parpol. Potensi perempuan sebagai potensi ekonomi juga nyatanya sudah majadi realitas dalam keluarga trans-tradisional. Maka hal ini pun menjadi salah satu faktor yang menunjukkan peningkatan taraf hidup masyarakat pedesaan (lihat artikel Pak Tani Tertimpa Kapitalisme Komprador). Baru-baru ini di berita di media, telah mulai tumbuh koperasi ekonomi yang anggotanya para Ibu rumah tangga, di mana mereka bisa meminjam modal usaha kecil-kecilan.
Lalu mengapa perempuan sering dituduh materialistis? Bukankah laki-laki juga materialistis?..
4 Alasan Mengapa Perempuan Dituduh Materialistis:
- Sejarah dan budaya yang terlanjur menempatkan wanita sebagai second class, artinya menjadi makhluk yang bergantung, membentuk citra konsumtif dan bukannya produktif.
- Naluri wanita untuk selalu terlihat cantik atau mengutamakan penampilannya (didukung survey bahwa wanita yang well looking mendapat gaji lebih tinggi dari wanita yang berpenampilan biasa-biasa saja).
- Budaya patriarki yang menempatkan pria sebagai pencari nafkah yang utama sementara wanita memainkan peran sebagai istri dan ibu bagi suami dan anak-anak-membatasi energi wanita untuk lebih produktif dalam berkarir. Pada keluarga tradisional masih banyak wanita memilih untuk menjadi housewife yang akhirnya memposisikan dirinya sebagai pihak yang konsumtif dan bukannya produktif dalam keluarga.
- Rumor manajemen keuangan keluarga "cukup ga cukup pokoknya harus cukup" yang ditekankan kepala keluarga membuat wanita harus kreatif menambal sulam keuangan dan lebih jeli mengenai masalah pengeluaran.
Komentar
Aku kok kurang setuju kalau dikatakan "Pada keluarga tradisional masih banyak wanita memilih untuk menjadi housewife yang akhirnya memposisikan dirinya sebagai pihak yang konsumtif dan bukannya produktif dalam keluarga." karena ibu rumah tangga itu tidak selalu hanya konsumtif. Catatan nomor 4 itu benar (wanita kreatif dalam tambal sulam), sehingga seringkali ibu rumah tangga bisa berubah produktif dan efisien dalam pengelolaan keuangan rumah. Banyak ibu rumah tangga tangguh yang saya kenal, dan saya juga belajar banyak dari ketabahan dan kekuatan mereka.
Tapi benar bahwa energi wanita untuk berkarir membutuhkan juga tunjangan bahu membahu dari suami atau keluarganya. Saling berbagi tanggung jawab, itu kunci kesuksesan bersama.
Aku pengen tau, apa yang dirasakan seorang perempuan Papua, ketika melihat gencarnya iklan di TV tentang kosmetik pemutih dan shampoo pelurus rambut?
Salam,
Inge Sundoko
Salam,
Inge Sundoko