Menanti Pangeran
Nama lain "cinderella complex" adalah ketakutan wanita akan kemandirian. Istilah ini muncul dari buku Colette Dowling, yang diterjemahkan oleh Santi W. E Soekanto. Lengkapnya lagi, "cinderella complex" adalah kumpulan sikap dan tekanan rasa takut sehingga wanita tidak bisa dan tidak berani memanfaatkan sepenuhnya kemampuan otak dan kreatifitasnya. Seperti Cinderella yang menanti seorang pangeran menyelamatkannya dari kemalangan dan kejahatan Ibu dan Saudara Tiri. Nyatanya ada wanita masa kini yang masih menanti kekuatan dari luar untuk mengubah hidup mereka. Hal ini juga terjadi pada wanita yang sudah menikah yang takut sang "pangeran" yang jadi suaminya akan pergi saat ia "mandiri" dalam mengatasi persoalan rumah tangga. Apakah boleh jika wanita hanya mengeluh saja?
Gadis Kecil
Saat masih kecil, gadis kecil sungguh dijaga. Orang tua menanamkan bahwa sejauh yang berkaitan dengan pengambilan risiko dan penilaian tentang keselamatan mereka, seharusnya mereka tidak mempercayai dan mengandalkan diri sendiri. Saat mulai masa puber, perilaku baru dituntut oleh lingkungannya: menjadi partner heteroseksual: tidak baik terlalu bersaing dengan pria.
Gadis Remaja
Pada saat beranjak remaja, Krisis Feminitas (yaitu periode stres dan kekacauan, cemas akan kemampuan dan identitas diri-red) pada anak gadis muncul: suatu ketidakberwarnaan, ketidakberbentukan yang mencolok, ketiadaan definisi, kekaburan kepribadian, sengaja dicari si dara, sementara si jaka mengejar keterikatan dan tujuan yang jelas. Mereka harus mengkondisikan diri sedemikain rupa agar dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan pria yang menikahi mereka. Saat beranjak dewasa, ketakutan untuk mendefinisikan diri mulai dianggap orang sebagai hal yang neurotik.
Gadis Dewasa
Wanita muda yang sudah ingin menikah, umumnya mengubah total nilai-nilai mereka, menolak prestasi untuk sekuat tenaga mengejar penerimaan sosial. Otomatis, tugas mengembangkan ketrampilan berprestasi dan kemandirian pun terhenti.
Antara Dependen dan Independen
Di antara konflik ketergantungan dan ketidaktergantungan, di manakah keseimbangan antara keduanya? Seorang gadis yang manja, tidak punya opini, tanpa kepribadian, dianggap tikus dan tidak menarik. Tapi seorang gadis yang terlalu mandiri juga bukan piala yang ingin direbut.
Saya ingat cerita Ibu saya bahwa seorang Pak Guru saya berumur 40-an menolak dijodohkan oleh seorang teman Ibu yang sudah lama melajang pula hanya karena si Tante ini bisa naik genteng untuk membetulkan atap bocor sendiri! "Buat apa ada saya di dekatnya. Dia bisa kerjakan apa-apa sendiri." Akhirnya di sisi lain saya sedikit tahu bagaimana pria ingin memposisikan diri.
Begitu masyarakat membentuk mereka sampai pada jangka waktu yang lama wanita baru sadar akan ketidakberdayaannya. Padahal kita tahu, mempercayai dan mengandalkan diri sendiri adalah modal pengembangan kemandirian.
Saya sendiri kadang bangga akan kemandirian saya (berani pulang malem?!) tapi juga kadang menolak untuk mandiri terutama dalam hal finansial. Saya pikir kodratnya, baik seorang yg tradisional mau pun yang modern, seorang pria harusnya menafkahi istrinya, peduli gaji lebih besar atau lebih kecil. Kalau nggak gitu bagaimanakah pembagian peran yang jelas? Karena seorang istri jaman sekarang juga harus bekerja untuk menambal kekurangan yg ada.
Komentar
leh bagi referensi tentang cinderella complex ga??terus terang saya susah bgd cari buku colette dowling yg sdh diterjemahkan..
makasih