Langsung ke konten utama

Habitus: Sayang Anak, Harusnya Sayang Jangka Panjang


Suatu siang, saat saya masih berkantor di bilangan Salemba dan sedang ada tugas luar kantor, seorang teman, sopir kantor mengeluh tentang tunggakan kontraknya tiga bulan. Sesudah selesai berkeluh kesah, dia tepikan mobil kantor ke depan toko mainan anak-anak dan meminta saya untuk menunggu sebentar... Tidak berapa lama dia masuk mobil dan meletakkan Track Tamiya di jok belakang. Saya jadi gusar.
"Tong, bukannya barusan loe ngeluh ga punya duit buat bayar tunggakan kredit rumah? Kenapa sekarang malah beli Track Tamiya?"
"Yah, gapapa lah Nge, kasihan anak gue... Dari sebulan lalu merengek minta dibelikan, tapi malah dimarahi sama istri gue... Cuma buat nyenengin anak Nge."

Cuma buat menyenangkan anak, kata-kata itu ga pernah lepas dari ingatan saya. Saya pernah mengalami hal serupa... Waktu itu Ibu meminta saya untuk memilih sunglasses mana yang saya suka... Tadinya saya tidak tertarik untuk membeli, tapi kemudian saya pilih juga satu. Tapi itu adalah barang yang paling saya sesali untuk dibeli (tepatnya dibelikan). Karena ketika barang sudah saya pegang Ibu bilang, "Namanya juga kepengen." Sejak saat itu saya berusaha untuk tidak menyusahkan orang tua meskipun diberikan penawaran seperti itu. Saya belajar bahwa jika orang tua memberi sesuatu itu bukan karena mereka banyak uang, tapi hanya karena sayang.

Ketika anak tidak pernah diberi pengertian tentang alasan mengapa kita membeli atau memperoleh sesuatu, mungkin mereka akan tumbuh jadi orang yang impulsive. Harusnya, mereka tidak hanya bisa bersedih saat tidak memiliki sesuatu yang mereka inginkan, tapi juga bersedih ketika mereka memiliki barang yang sebenarnya tidak penting buat mereka.

Saya mempelajari sendiri soal apa yang perlu dimiliki dan apa yang diinginkan. Ada suatu masa saya sangat terobsesi dengan barang milik teman tetangga saya. Jadi setiap dia memiliki mainan baru, saya pasti ikut-ikutan. Kebetulan Ibu saya hampir selalu memenuhi permintaan saya. Sampai suatu ketika, saat teman saya itu ulang tahun, pintu kamarnya ditutup khusus untuk saya, karena saya tidak boleh melihat kado-kado ultahnya, khawatir saya akan ikut-ikutan lagi...

Semenjak itu saya belajar untuk jadi diri sendiri, menahan keinginan untuk tidak mudah ikut-ikutan, tidak mudah untuk iri hati atas milik orang lain. Terutama saya tidak akan menyusahkan orang tua lagi...Dan pembelajaran ini membuat saya tegar menghadapi kesenjangan high class dan low class saat saya di SMA swasta, dan mudah-mudahan seterusnya.

Komentar

Nge, masih beruntung kita berasal dari sekolah yang sangat majemuk. Sekarang sekolah model begitu sudah agak susah diperoleh (entah di sekolah lama kita ya...) soalnya sekolah semakin mahal, toleransi semakin kurang...
Rediningrum Setyarini mengatakan…
Thank you Kak Retty. Iya Kak Retty, kelihatannya sekolah yang sebenarnya itu ada di University of Life. Love, Inge..