Langsung ke konten utama

Female Single Parent

Female Single Parent[1]: Jaman Sekarang

Akhir-akhir ini, kita cukup sering menonton TV yang didominasi sinetron Indonesia. Kita amati bersama tema sinetron akhir-akhir ini kurang lebih sama: mistik, perebutan harta warisan, cinta remaja, bahkan sampai soal menikah muda...

Beberapa judul sinetron dengan nama perempuan Indonesia, . menarik perhatian kita. Sinetron itu berkisah perempuan tanpa suami yang mengasuh sendiri anak mereka, merekalah Female Single Parent[2] (FSP). Pada kenyataannya sosok FSP mungkin cukup dekat dengan lingkungan pertemanan kita. Bersama buah hati, FSP masih menghadapi persoalan hidupnya yang unik sampai saat ini.

Kondisi Perempuan Jaman Dulu dan Sekarang

Tradisi dalam masyarakat dari dulu sampai sekarang menempatkan wanita sebagai second class. Mulai dari masa dipandang tabu untuk mengungkapkan perasaan suka lebih dulu, sampai saat ini, di mana pertimbangan wanita memilih pasangannya semakin beragam.

Kriteria Memilih Pasangan dan Komitmen Menikah

Kriteria wanita modern jaman sekarang dalam mencari pasangan menurut beberapa responden sesuai urutan yang paling penting adalah setia, bisa mencari nafkah, dan cinta. Apa yang akan terjadi jika kemudian ada peristiwa-peristiwa yang mungkin membuat kondisi ideal dalam rumah tangga itu berubah?

Catatan dari beberapa responden yang saya hubungi mengakui bahwa komitmen awal memasuki pernikahan adalah ingin membina keluarga yang rukun dan bahagia. Permasalahan kemudian yang menyebabkan pisah adalah ego yang tinggi, sehingga menghambat komunikasi dan akhirnya mereka mengurus diri masing-masing.

Suatu Pilihan: Bertahan atau Pisah

Para wanita selebriti jaman sekarang, seperti yang sering kita tonton di infotainment, lebih berani meminta cerai lebih dulu dari suaminya. Apakah faktor kemandirian ekonomi membuat mereka berani memutuskan untuk mandiri juga dalam mengasuh anak-anak mereka? Apakah peran untuk menjadi single parent itu timbul hanya ketika pasangan suami istri itu bercerai? Bagaimana dengan mereka yang bertahan dalam kondisi pernikahan di mana suaminya tidak bekerja, tukang pukul, dan sering mabuk2an atau bahkan membiarkan saja istri[3] yang sudah lama tidak pulang ke rumah misalnya. Apakah mereka bisa disebut single parent juga? Mengapa mereka bertahan dalam pernikahan yang sudah timpang?

Mungkin tidak banyak pasangan suami istri yang menyadari kondisi seperti apa yang diinginkan masing-masing dalam rumah tangga mereka. Seorang psikolog dalam acara talkshow radio mengatakan, “Apa yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam pernikahan? Ada tiga: mengandung, melahirkan dan menyusui..” Selebihnya? Suami dan istri sama-sama boleh mencari nafkah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Keseimbangan peran antara suami dan isteri meminimalisir kesenjangan atau pun benturan ego yang mungkin jadi penyebab konlik dalam rumah tangga.


Apakah wanita jaman sekarang jauh lebih mandiri?

Sudah jadi rahasia umum bahwa budaya patriarkat melekat pada masyarakat Indonesia. Lalu sikap masyarakat seakan melegitimasi budaya patriarkat tersebut. Misalnya, mengapa wanita tidak boleh pulang malam[4] ? Padahal beban ekonomi misalnya, menuntut wanita pun harus bekerja. Faktor kota besar yang padat penduduk, padat perkantoran di tengah kota, rata-rata hunian semakin ke pinggir, menyebabkan para pekerja wanita pulang larut malam. Kondisi ekonomi yang sulit terutama, menuntut wanita jaman sekarang untuk lebih mandiri, meskipun pandangan-pandangan kolot, semata tradisi, tanpa alasan logisnya, mengikis adanya penghargaan atas pergumulan hidup, yang harusnya mereka terima, sama seperti para pekerja laki-laki. (IS)

Female Single Parent: Jaman Sekarang (2)

Pandangan terhadap Pernikahan Katolik

Di negara Barat, karena kondisi tertentu, seorang wanita berani memutuskan untuk menjadi orang tua tunggal, bahkan tanpa ikatan pernikahan. Tapi di Indonesia dengan budaya ke-Timuran, banyak hal yang harus dipertimbangkan, terutama menyangkut kondisi psikologis anak jika diasuh oleh orang tua tunggal...

Pada tulisan sebelumnya, disebutkan status single parent mungkin didapat, setelah melalui masa dalam pernikahan yang bermasalah.... Bagaimana bila kita mulai mencermati: Apakah perkawinan saya sedang bermasalah...?

Romo Al. Andang L. Binawan, SJ, pakar Hukum Perkawinan Katholik[i1] dan Juru Bicara SAGKI 2005 dalam sebuah tulisannya yang berjudul Menyikapi Masalah Perkawinan (Menurut Ajaran dan Hukum Gereja Katholik), mengatakan, sikap terhadap masalah dalam perkawinan perlu dilandasi pandangan bahwa setiap perkawinan itu bermasalah. Hal ini penting untuk menentukan langkah kongkret yang perlu diambil. Romo Andang membagi fase perkawinan menjadi 4 skala stadium yaitu stadium 1-4 di mana masing-masing memiliki ciri obyektif (berkaitan dengan masalahnya) dan subyektif (berkaitan dengan dampaknya bagi yang mengalami) termasuk juga apakah sudah menyinggung perkara yang esensial dalam perkawinan. Yang disebut dengan perkara esensial dalam perkawinan adalah 2 nilai perkawinan yaitu monogam dan tak terceraikan (satu suami/ istri dan untuk seumur hidup), dan 2 tujuan pokok perkawinan yaitu kesejahteraan pasangan (lahir- batin- rohani) dan kelahiran/pendidikan anak.[5]

Pandangan dan sikap yang benar terhadap pernikahan adalah langkah pertama yang menentukan bagaimana masalah bisa diatasi, meski tidak semua memuaskan. Masa pasangan untuk saling mengenal saat sebelum menikah/ pacaran harus dipergunakan seoptimal mungkin sebagai salah satu faktor yang menentukan. Permasalahan akan semakin berat jika satu sama lain belum saling mengenal.

Kebanyakan orang sebetulnya menikah dalam ketidakcocokan, bukan dalam kecocokan. Ia menyebut kecocokan hanyalah ilusi pernikahan, pasangan yang merasa cocok tidak serta merta berubah menjadi tidak cocok setelah mereka menikah. Sering kita mendengar alasan klise pasangan yang baru bercerai, “Kami sudah tidak cocok lagi.” Hal apakah yang menyebabkan para suami yang sering tugas keluar kota bertahan untuk tidak selingkuh[6]? Dan hal apakah yang mampu mengikat rasa ketidakcocokan dalam pernikahan?

Jawabannya adalah KOMITMEN.

TRIANGULAR LOVE

Menurut seorang psikolog Sternberg, KOMITMEN adalah bagian dari cinta. Teorinya tentang cinta dalam perkawinan disebutnya TRIANGULAR LOVE atau segitiga cinta, yaitu terdiri dari Intimacy (keintiman, perasaan dekat, enak, nyaman ada ikatan), Passion (gairah, romantis, ketertarikan fisik dan seksual) dan Commitment (komitmen, keputusan akan memelihara cinta sampai akhir hayat).

Jika dalam perkawinan hanya ada intimacy dan commitment, bentuk relasinya akan seperti persahabatan. Pasangan yang kumpul kebo biasanya hanya punya passion dan intimacy. Sementara orang yang saling jatuh cinta atau sedang tergila-gila/ infatuation biasanya hanya memiliki passion.


Tugas dan Peran Seksi Kerasulan Keluarga

Menurut Bpk. Winardi, perlu pandangan yang benar tentang perkawinan (keluarga) Katholik: monogami dan tak terceraikan. Pasutri Katholik harus memahami betul arti dari Sakramen Perkawinan. Sesuai ajaran Kristus, apa yang sudah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Suami dan istri yang salah satunya bukan Katholik, bila diberkati di gereja, bukan merupakan Sakramen Pernikahan; yang saling diterimakan (dalam bentuk pertukaran janji pernikahan) dan merupakan tanda dan anugerah dari Tuhan.

Komisi Kerasulan Keluarga terbentuk di paroki Santa sejak tahun 1996, pertama kali dijabat oleh Pasutri Erica/Simanjuntak (Alm.) (3 tahun), kemudian Pasutri Anin/ Bandono (Alm.) (3 tahun), Pasutri Maria/ Winardi (9 tahun= 3 kali menjabat). Romo JB Martasudjita, SJ membentuk SKK di bawah PSE. Tugas dan peranannya adalah menyelenggarakan KPP (Kursus Persiapan Pernikahan), mengadakan acara peringatan Hari Ulang Tahun Pernikahan (HUP), mengadakan seminar-seminar yang berkaitan dengan keluarga seperti seminar KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dimasukkan ke event tertentu seperti HUP. Untuk event seminar SKK Blok Q pernah mendatangkan public figur seperti Rike Dyah Pitaloka (pemeran Oneng di Bajaj Bajuri) yang aktivis KDRT dan dr. Thomas yang pernah menjabat Divisi Kesehatan Keluarga[i2] di Departemen Kesehatan, namun sekarang sudah pensiun dan berkediaman di Kemang.

Dalam wacana yang dicermati oleh SKK gereja Santa, menurut Bpk. Winardi Poerwadarminta, tidak hanya masalah perkawinan yang dibangun tapi yang terpenting adalah bagaimana membangun keluarga dengan semangat Katholik. “Masalah yang sering timbul itu, seperti rel KA, kelihatan berjalan bersama padahal hakekatnya antara suami dan istri tidak pernah bertemu,” kata Bapak Winardi.

“Perlu diadakan konseling pernikahan bagi pasutri Katholik yang bermasalah. Dan konsulernya adalah pasutri yang sudah berpengalaman menghadapi konflik dalam pernikahan sehingga mampu menyelami dan menghayati hakekat pernikahan,” Bapak Winardi menambahkan. “Sebenarnya pemicu awal konflik adalah tidak adanya komunikasi, maka dari itu diperlukan keterbukaan. Konflik itu bisa terjadi dari banyak sebab, seperti, kesenjangan pendidikan antara pasangan suami-istri, mungkin hal itu menimbulkan rasa minder dan rasa minder itulah yang menghambat komunikasi.”

Hal yang masih tabu untuk diungkap oleh komunitas Katholik adalah kenyataan bahwa ada sebagian pernikahan Katholik yang menghadapi masalah pernikahan yang berat, sehingga tidak ada lagi komitmen hidup bersama dan menyebabkan timbulnya keinginan pasutri untuk anulasi. Mengantisipasi hal tersebut, materi pada KPP memberi bekal bagi pasutri Katholik dalam menghadapi dan menyelamatkan masalah perkawinan mereka. Seperti yang telah digariskan oleh Komisi Kerasulan Keluarga tingkat KAJ dan sudah kita ketahui bersama, materi KPP meliputi: Hukum dan Moral Perkawinan Katholik, Spiritualitas dan Liturgi Perkawinan Katholik, Ekonomi Rumah Tangga, Seksualitas dan KB Alamiah, Komunikasi Suami Isteri, Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Pendidikan Anak, dan Sharing antara Peserta KPP.

Menurut Bpk. Winardi, biasanya setelah usia pernikahan ketiga, karakter asli dari masing-masing pasangan mulai kelihatan. Masalah ekonomi biasanya yang paling sering muncul sebagai pemicu konflik dalam rumah tangga. Sementara menurut Romo Andang, dari kasus-kasus anulasi yang sampai ke beliau, tidak ada ciri khusus, kasus seperti apa yang sering muncul. Hanya saja beliau mengingatkan, bagi mereka yang menginjak usia pernikahan ke 5-7 tahun, harap berhati-hati,” Karena ibarat mendaki puncak, perkawinan pada usia tersebut, sedang mengalami masa kelelahan.”

Menurut Romo Andang bahwa salah satu kunci pernikahan yang langgeng adalah kompromi. Hal ini makin sulit diwujudkan dalam rumah tangga pasutri yang hidup di kota besar, karena mereka semakin individualis dan otonom (penghasilan, wawasan, dsb). Di lain kesempatan wawancara, Bpk. Winardi tepatnya menambahkan bahwa, dinamika di kota besar yang penuh kompetisi, harus ekstra kerja keras seperti di Jakarta, menyulitkan masing-masing pihak untuk berkomunikasi. Bagi pasutri yang sibuk bekerja (belum mapan, sibuk mengejar materi) terutama, komunikasi menjadi langka, baik intensitas mau pun kualitasnya. Harusnya ada kesepakatan dari pasangan untuk memelihara komunikasi tersebut, karena tehnologi jaman sekarang dapat dimanfaatkan untuk mendukungnya. “Baiknya masing-masing pihak menghargai eksistensi pasangannya sebagai teman hidup, tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain, mewaspadai campur tangan keluarga besar agar tidak menimbulkan konflik”.

Di akhir sesi wawancara kami, Bpk. Winardi menegaskan, untuk peranan SKK gereja Santa masa mendatang, beliau sedang menyiapkan kaderisasi dan regenerasi yang tepat. Penggolongan komunitas pasutri untuk masa pernikahan 5, 10, 15 tahun dst., dan sharing antar peserta, diharapkan akan menjawab permasalahan yang mungkin serupa dan saling berbagi pengalaman untuk mengatasinya. Termasuk juga dari sharing antar peserta dan bakat kepemimpinannya, akan terlihat pasutri mana yang berpotensi menggantikan fungsi beliau untuk masa jabatan yang akan datang. Karena harus ada pengganti beliau mengingat masa jabatannya yang sudah cukup lama. Kaderisasi dan regenerasi ini penting, agar peranan SKK tidak stuck/ berhenti di tengah jalan. Beliau juga menyarankan bagi pasutri yang sudah menginjak masa 5 tahun pernikahan[7], agar bergabung dalam Marriage Encounter sebagai salah satu alternatif komunitas, di mana tiap pasangan akan memperoleh manfaat semakin menghayati arti pernikahan yang sesungguhnya.

Ketika ditanya mengapa Romo Paroki mempercayai Bapak Winardi sampai 3 kali menjabat? Kata beliau, mungkin karena manajemen keuangan dan kegiatan yang dianggap ‘beres’ oleh Romo Paroki[i3] baik dalam esensi penggunaan yang bermanfaat untuk kegiatan SKK selama ini maupun pertimbangan segi ekonomisnya, yang selalu mengusahakan hemat biaya operasional.


Female Single Parent Jaman Sekarang (3)

Pasangan Katholik Berpisah?

Seorang pastur yang sedang memberi materi dalam KPP (Kursus Persiapan Pernikahan) sempat menunjukkan perasaan tidak sukanya, ketika termin pertanyaan, salah seorang peserta menanyakan mengenai anulasi[8] dalam Gereja Katolik. Mungkin pastornya berpikir, belum jadi menikah kok sudah tanya-tanya soal anulasi. Apakah yang dimaksud dengan anulasi dan dalam kasus yang bagaimanakah seorang yang telah bertukar janji dalam Gereja Katolik boleh membatalkan pernikahannya?

Anulasi adalah proses meninjau apakah dasar perkawinan yang dulu sudah dibuat sudah sesuai dengan kriteria Gereja, antara lain prosedur dan bobot kesepakatannya. Pembatalan atau dalam hal ini, anulasi berbeda dengan perceraian, meski hasilnya, yaitu perpisahan ikatan suami isteri, sama. Perceraian lebih menitik beratkan kejadian-kejadian terakhir, sedang pembatalan pada kejadian-kejadian di awal perkawinan, bahkan sebelum perkawinan. Untuk proses ini biasanya ditempuh proses pertama-tama melalui pastor paroki untuk berkonsultasi, lalu membuat surat permohonan pada pengadilan Gereja, dan kemudian menunggu panggilan untuk diproses oleh Pengadilan Gereja (tribunal).

Penyelesaian secara hukum adalah alternatif terakhir. Perlu ada tahap penyelesaian masalah sebelumnya dengan melibatkan keluarga atau pun psikolog. Yang penting adalah usaha setiap pasangan untuk mau berkomunikasi dan berkompromi. Hal ini bisa terjadi jika masing-masing dari pasangan masih ada komitmen untuk hidup bersama. Arti komunikasi di sini adalah masih ada keinginan untuk mendengarkan keluh kesah dan harapan pasangan yang lainnya. Sehingga masih ada kesempatan untuk mendapatkan titik tengah alias kompromi. Dan pengabulan atas anulasi harus dilihat kasus per kasus, biasanya melalui proses yang panjang dan lama.

Romo Andang mengatakan, kebijakan dalam Hukum Perkawinan Katholik dalam mengadakan fasilitas anulasi ini adalah justru untuk menjaga keutuhan cinta, yang monogam dan tak terceraikan. Jika salah satu pihak, misalnya, menutupi keadaan bahwa ia masih terikat pernikahan, tentunya cinta itu tidaklah utuh sejak awal pernikahan. Bahkan ada kasus yang menyalahgunakan administrasi dalam gereja sehingga, ada orang katholik yag menikah lebih dari satu kali.

Ketika ditanya pendapatnya mengenai fenomena female single parent sekarang ini, Romo menyatakan, hal ini merupakan pilihan yang minus malum[9], karena ada kondisi yang akhirnya harus diterima dan tidak dapat lagi dipaksakan untuk diubah oleh hanya satu pihak dalam perkawinan.


Jika Terpaksa atau Harus Memilih untuk Menjadi Single Parent

Menurut Ibu Ratih Andjayani Ibrahim, Spsi, MM, seorang psikolog LPTUI dan pakar Personal Growth, tidak semua orang punya kesempatan dan beruntung mempunyai pasangan abadi dan menjadi orang tua dalam ikatan perkawinan.

Alasan yang menimbulkan pilihan sebagai Single Parent adalah sbb;

1. Tak Bisa Diharapkan
Ada kondisi di mana suami maupun istri tak bisa diharapkan keterlibatannya dalam pengasuhan anak atau hopelessly hopeless. Misal, suami yang secara finansial tak bisa memenuhi kebutuhan anak akan pendidikan, kesehatan, bahkan kehidupan sehari-harinya. Atau, istri yang sangat sibuk sehingga tak punya waktu untuk mengurus anak.

2. Percaya Diri
Kondisi di mana suami/ isteri sangat percaya diri bahwa dia tak membutuhkan pasangan untuk merawat anak. Bahkan, dia merasa kalau pasangannya hanya akan merusak aturan-aturan yang sudah ditetapkannya. Dia merasa jauh lebih baik dari pasangan, sehingga memutuskan untuk melakukan semuanya sendiri. Sepatutnya secara finansial kebutuhan sudah tercukupi sehingga apa pun aturan yang ingin diterapkan akan berjalan dengan baik.

3. Trauma
Seseorang, laki-laki atau perempuan, memiliki pengalaman buruk terhadap pernikahan. Pengalaman ini bisa membekas menjadi trauma berkepanjangan yang sulit untuk dilupakan. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak menikah lagi dan tetap memilih menjadi single parent.

4. Cinta Begitu Besar
Ada orang yang tak bisa melupakan cinta dan kesetiaannya kepada pasangannya. Sering kali hal ini membuatnya enggan untuk menikah lagi. Begitu pula dengan kesedihan yang begitu besar ketika pasangan meninggal dunia, banyak yang merasa tidak pantas untuk menikah kembali.

5 MASALAH UTAMA & SOLUSINYA

Menjadi single parent (SP) butuh tenaga ekstra dalam merawat anak. Pasalnya, segala masalah anak harus ditangani sendiri, dari kebutuhan makan hingga hiburan. Hal ini menuntut kestabilan dirinya, kemapanan dirinya, pemahaman dia atas anaknya, dan kepiawaian dia sebagai orangtua.
1. Berebut Hak Asuh
Perebutan hak asuh anak umumnya terjadi demi ego si orangtua. Solusinya harus melihat kasus per kasus. Namun secara umum, Ratih menyarankan, orangtua yang paling "mapan", emosional dan finansial /berpenghasilan tetap, menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak. Alasan Ratih, diperkirakan seberat apa pun trauma yang dialaminya, si orangtua ini akan lebih mampu memulihkan dirinya, lebih tegar dan bangkit kembali demi anak-anaknya.

2. Ketiadaan Figur Ayah/Ibu
Figur yang komplet, ayah dan ibu, sangat penting untuk dekat dengan anak agar pertumbuhan fisik dan psikisnya berjalan baik. Kedua orangtua bisa berteman dan memelihara tali silaturahmi yang baik sehingga anak tetap memiliki figur orangtua yang lengkap. “Bila salah satu orangtua meninggal, memiliki perjanjian untuk tidak bertemu lagi, sakit yang sangat parah,” ujar Ratih, “kita harus mencari pengganti figur ayah/ibu. Tak harus menikah kembali, kok, karena bisa menggunakan figur kakek, nenek, om, tante dari pihak orangtua. Menikah lagi tak ada salahnya dengan pertimbangan matang demi kebaikan anak."

3. Sulit Komunikasi
Ratih menyarankan agar kita mencari tahu dulu penyebabnya, akar masalahnya, kenapa sampai sulit berkomunikasi. Misal, kita masih memiliki dendam kepada pasangan yang membuat kita enggan berkomunikasi dengan anak. Suatu saat, kita memaksakan diri untuk berkomunikasi dengan anak. Nah, esoknya, jika dendam masih berlanjut komunikasi pun akan sulit dilakukan lagi.

4. Pengaturan Finansial
Urusan finansial sebaiknya sejak awal berpisah memang sudah disepakati bersama dan sungguh-sungguh dilakukan. Biasanya, karena ibu adalah pihak yang mengandung dan melahirkan anak, secara hukum, jika ibu tak bermasalah, hak pengasuhan anak akan diberikan kepada ibu. Kecuali jika ibu dinilai tidak mampu. Dan biasanya pencari nafkah utama dalam keluarga adalah ayah. Dengan demikian, meskipun sudah berpisah dengan ibu, ayah tetap wajib menanggung seluruh biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya sampai anak-anak ini dewasa dan mampu menanggung hidupnya sendiri. Tidak hanya anak-anak, tetapi juga mensubsidi kebutuhan hidup mantan istrinya, sampai si istri menikah kembali. Sedangkan ibu, meskipun punya penghasilan sendiri, dibebaskan dari kewajiban menanggung si ayah.
Meski demikian, tak sedikit orang yang curang sehingga meskipun secara hukum sudah ditetapkan kewajiban-kewajibannya, ia tetap ingkar. Hal-hal demikian harus juga diperhitungkan oleh si mantan pasangan. Mengapa? Supaya ia sudah siap sejak dari jauh-jauh hari.

Tips bagi Single Parent

Menjadi single parent memang tak selalu mudah, entah itu karena ditinggal mati suami atau karena cerai. Banyak masalah, hal yang berubah dan butuh penyesuaian diri. Kuncinya, selalu tempatkan urusan anak di urutan pertama. Karena, menurut Dr. Stephen Duncan dalam The Uniques Strengths of Single Parent Families permasalahan utama keluarga dengan orang tua tunggal adalah masalah anak. Anak merasa dirugikan karena kehilangan salah satu orang yang berarti dalam hidupnya. Maka, jadikan anak sebagai prioritas. Apa saja yang harus Anda perhatikan?

1. Siapkan Mental
Siapa pun tak mau menjadi single parent. Anda harus siap menjadi ibu sekaligus bapak bagi anak-anak. Jadi, bila selama ini suami begitu perhatian atau bercanda dengan anak sepulang kerja, coba lakukan hal yang sama. Jangan berpusat pada kelemahan-kelemahan dalam keluarga dan bangun kekuatan.

2. Jaga Kesehatan
Boleh saja bekerja keras, tetapi Anda juga harus menjaga kesehatan. Seringkali, saking asyiknya bekerja, sampai-sampai urusan kesehatan tak lagi diperhatikan. Sebab, selain diri Anda, anak-anak yang Anda cintai pun jadi kurang perhatian jika Anda jatuh sakit. Segeralah pergi ke dokter jika badan terasa tak enak.

3. Tahan Banting
Menjadi single parent harus tahan banting. Tahan dari segala cobaan, ucapan, atau gosip yang tidak benar, perlu bersikap sedikit cuek, dan tidak terlalu ambil pusing. Terutama jika selama ini sikap Anda tetap terjaga baik dan tidak neko-neko. Berita miring itu pun pasti akan hilang dengan sendirinya.

4. Tegar
Sebagai single parent, Anda harus tegar dalam berbagai situasi karena sekarang Anda harus menghadapinya sendiri. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Boleh saja menangis tapi jangan berlarut-larut. Ingat, apapun yang Anda lakukan, akan menjadi perhatian anak. Jika Anda selalu tampak sedih, anak pun tentu akan bertanya-tanya.

5. Luangkan Waktu
Sesibuk apa pun Anda, yang terpenting adalah mengutamakan anak. Bila Anda tidak pernah punya waktu untuk anak, sia-sia saja usaha yang Anda lakukan selama ini. Jadikan pengasuh dan pembantu di rumah sebagai mitra keluarga. Aturlah waktu seefisien mungkin sehingga komunikasi tetap terjalin. Jangan pernah menolak anak saat mereka minta dimanja atau diperhatikan, sesibuk dan seletih apa pun Anda. Ingat, kalau bukan pada Anda, kepada siapa lagi anak bisa bermanja-manja?

6. Terbuka
Daripada mendengar dari orang lain, terbukalah pada anak tentang posisi Anda sebagai orang tua tunggal dengan bahasa yang mudah dipahami, bila usia anak sudah di atas 12 tahun, karena ia mulai bisa memahami. Jangan menjelekkan mantan suami, biarkan anak yang menilai.

7. Jangan Gegabah
Banyak hal yang harus Anda pertimbangkan jika ingin kembali memulai hidup baru. Apakah kecocokan itu juga ada pada sang anak? Berikan waktu pada anak untuk mengenal lebih dekat pasangan Anda yang baru. Pikirkan masak-masak sebelum Anda memutuskan untuk menikah kembali. Anda pernah gagal, jadi jangan sampai gagal untuk yang kedua kalinya.

8. Nikmati
Tak ada hal yang sulit jika Anda melakukannya dengan senang hati. Karena itu, cobalah nikmati peran sebagai single parent. Jika muncul masalah, anggaplah sebagai tantangan dan ajak anak untuk ikut bersama-sama menyelesaikan. Misalnya jika Anda sedang mulai menabung untuk pendidikan anak, ajak anak untuk juga ikut menabung.

9. Silaturahmi
Seringkali, begitu hubungan perkawinan putus, maka putus pula tali silaturahmi antara suami-istri, tidak ada komunikasi, bahkan saling membenci. Ini tentu tak baik dalam mendidik anak. Dalam masa pertumbuhannya seorang anak membutuhkan figur orang tua yang lengkap. Bahkan jika sudah menikah lagi, silaturahmi harus tetap jalan. Walau tidak bisa sedekat dulu lagi, minimal komunikasi harus tetap ada. Jangan memutuskan hubungan anak dengan Ayah/Ibu/keluarga Ayah/ Ibu.

Penutup

Ada banyak alasan untuk menikah, ada banyak alasan pula untuk tidak ingin lagi hidup bersama. Seseorang bisa mandiri terutama untuk kepentingannya sendiri. Manusia bisa berubah, bergantunglah terlebih pada Tuhan dan diri sendiri karena dengan begitu kita memperoleh kekuatan. Kemandirian baik untuk pria atau wanita jangan lagi diartikan sebagai kekuatan ekonomi saja, karena arti sebenarnya adalah mampu berbuat sesuatu. Seperti yang dinyatakan beberapa responden, setelah menjalani peran sebagai FSP pun, mereka memperoleh hal positif yaitu merasa lebih maju dan lebih berkembang, karena mereka sekarang tampil sebagai kepala keluarga di dalam masyarakat lingkungannya. Mereka tidak lagi ditempatkan sebagai luka dalam masyarakat yang mengharapkan kondisi serba ideal. Masyarakat mulai menghargai, pasutri yang memilih pisah, karena setidaknya pasutri tersebut tidak mau hidup dalam kepura-puraan karena tuntutan serba ideal dari masyarakat[10]. Permakluman terus menerus terhadap ego pasangan[11] dalam perkawinan justru membuat mereka tidak menyadari masalah sebenarnya, dan menutupi kenyataan bahwa salah satu pihak berada di bawah mental/ physycal abusement.


Referensi

Binawan, Al. Andang, SJ (2007[i5] ). Menyikapi Masalah Perkawinan: Menurut Ajaran dan Hukum Gereja Katholik. Paroki Maria Bunda Karmel.

Ibrahim, Ratih Andjayani, Psi., MM (2007[i6] ). Menjadi Single Parent Sukses. www.tabloid-nakita.com.

Nababan, Merry (2001). Duh Susahnya jadi Single Parent. www. tabloidnova.com.

Fauzi, Dodi Ahmad, S.Sos (2007).Wanita Single Parent yang Berhasil. Jakarta: EDSA Mahkota.




[1] Saya batasi definisi untuk Female Single Parent di sini yaitu perempuan tanpa suami, baik yang pernah terikat dalam pernikahan atau tidak dan memiliki anak.
[2] Karena ada juga pria yang single parent seperti yang kita kenal dari kalangan selebritis yaitu Adjie Notonegoro;
[3] Bukan salah ketik, untuk menunjukkan bahwa faktor perpisahan bukan melulu ada di pihak laki-laki atau suami.
[4] Seperti yang diatur dalam PERDA di suatu daerah
[5] Bdk. Gaudium et Spes art. 48-51 dan Kanon 1055-1056 KHK (Kitab Hukum Kanonik) 1983.
[6] kalau alasan untuk selingkuh tidak perlu diulas lagi, bukan?
[7] Mengapa harus berusia 5 tahun pernikahan? Menurut Bapak Winardi, “Pada usia pernikahan kelima umumnya masing-masing karakter pasangan sudah terlihat aslinya, dan masa romantis sudah lewat.”
[8] Pembatalan pernikahan dalam Gereja Katolik
[9] minus malum=pilihan terbaik dari antara yang buruk-buruk
[10] Don’t wash your dirty cloth in front of the public- potongan dialog film Monalisa Smile
[11] Yang dalam kondisi tertentu membuat mereka mudah rapuh.


Komentar

Qoenang-Qoenang mengatakan…
Menambahkan, dalam perjalanan pernikahan, ada baiknya kita mencatat peristiwa2, layaknya buku harian sebagai bukti otentik yang dapat digunakan sebagai self defense mechanism...dalam hal ini, tiap fasilitas yang diadakan negara/ agama, yang kontra dengan idealnya lembaga pernikahan (seperti UU Perceraian dalam Islam atau pun Anulasi) bukanlah sarana untuk memudahkan pasutri untuk berpisah tapi mudah2an dapat dipertimbangkan sebagai the end of self-defense mechanism...