Berita Sepekan, Minggu, 26 Maret 2000
“Lho. Kenapa nggak ditaruh di rumah sebelah aja?!” dengan masih berlepotan debu dan memegang sapu dan pengki di kanan kiri Santa bertanya kepada beberapa Mudika putri yang tengah kerepotan mengangkat kursi-kursi yang telah mengkilap. Mereka hendak mengembalikan kursi-kursi yang sudah jarang dipakai itu ke Sekretariat Mudika. “Eh, udah cape, ya. Istirahat dulu, deh. Biar cowok-cowok aja yang ngangkat,” sahut Shinta tanpa bermaksud meremehkan gender, sambil mengatur konsumsi. Dengan dipandu oleh Mudika Wilayah III, sekitar 20-an anak muda (namun ada saja yang mengaku sudah tua, ck-ck-ck) bekerja bakti membereskan Sekretariat Mudika yang sudah mirip gudang. Sambil menikmati snack yang dipersiapkan oleh ibu-ibu Wilayah III, Santa mulai ngerumpi, “Hai, Shin, ngomong-ngomong gimana pendapatmu tentang Konsolidasi Mudika yang lalu?” “Mmm, yang mana?’ glek, seteguk Aqua membasahi kerongkongan. “Yaa. Secara umum lah lauw.” Setelah mengerutkan kening beberapa saat, Shinta berujar, “Pokoke kerinduan orang tua terjawab. Dan sebenarnya kaum muda sendiri juga haus akan kegiatan-kegiatan yang enerjik. Entah enerjik otaknya, apresiasi seninya atau ototnya, he..he..he.. uhuk,” Shinta tersedak. “Maksudnya bagaimana?” tanya Santa. “Ya, lihat saja tanggapan yang rata-rata cukup antusias dari masing-masing wilayah menjawab rencana kegiatan yang ditawarkan. Sukur-sukur kalau punya kreativitas untuk menampilkan suatu aktivitas baru. Asalkan bermanfaat dan kontinyu,” sahut Shinta. “Tapi ada lho yang katanya suka malas kalau ternyata dalam keluarga sudah ada yang aktif, gitu. Kalau di rumah saja sudah sering ketemu lalu di gereja juga sering ketemu kan bosen.” “Itulah, selama ini kita kurang menerapkan konsep kekeluargaan. Seorang Ibu kadang juga bisa mengambil peran sebagai Ibu walau di tengah masyarakat. Atau seorang anak adalah milik masyarakat juga.” Sambil menggigit cabe Shinta bertanya, “Memangnya kegiatan Mudika Paroki selama ini apa sih?” Sambil berbenah Santa menyahut, “Antara lain ada Liga Paroki, ada APP untuk Orang Muda dan rencananya sih visualisasi Jalan Salib lalu Jambore, itu yang intern lalu ada Posko untuk Ambon, itu yang ekstern, bergabung dengan KruK (Kelompok Relawan untuk Kemanusiaan) yang terdiri dari kaum muda Paroki blok Q, Paroki Blok B dan Paroki Cilandak.” “Trus?”, Shinta masih penasaran. “Trus? Ya, kamu yang meneruskan. Gue yakin pasti di benak loe-loe ada ide-ide yang canggih-canggih. Akan lebih berguna kalau itu semua diwujudkan. Ya, nggak.” Shinta menjawab dengan tersenyum. Rupanya di benaknya terlintas ide-ide bagus, “Mudika Wilayah gue memang berencana untuk bikin ziarah tahun ini.”Asyik, gue diundang, nggak?” “Lho, kan acara Mudika Wilayah. Jadi...” “Sayang banget, ini kan jaman globalisasi, kok loe berkesan menutup diri sih,” Shinta jadi kebingungan. “Mungkin untuk sementara ini loe belum menangkap maksud gue. Namun pada saatnya segala sesuatu yang kita lakukan sekarang itu harus dipikirkan untuk jangka panjangnya, honey. Supaya kita nggak kehilangan arah.” Sebuah motor bebek memasuki gereja, “Hai guys. Udah selesai nih?!” “Kok ngaret, sih”, seru Santa ingat omongan Romo Heru kemarin bahwa kita harus menghargai waktu orang lain. “Biasalah” Shinta menyahut. “Oh, ya gue punya sesuatu untuk loe” Santa mengeluarkan pigura kecil bertuliskan ‘Memiliki seorang teman seperti menghidupkan dua kehidupan’. “Aduh bagus sekali. Thanks. Eh, gue kan nggak ulang tahun.” “...He..he..he, itu buat ulang tahun loe tahun depan,” sahut Santa sambil berlari meninggalkan Shinta dan Santo yang terbengong-bengong.
“Lho. Kenapa nggak ditaruh di rumah sebelah aja?!” dengan masih berlepotan debu dan memegang sapu dan pengki di kanan kiri Santa bertanya kepada beberapa Mudika putri yang tengah kerepotan mengangkat kursi-kursi yang telah mengkilap. Mereka hendak mengembalikan kursi-kursi yang sudah jarang dipakai itu ke Sekretariat Mudika. “Eh, udah cape, ya. Istirahat dulu, deh. Biar cowok-cowok aja yang ngangkat,” sahut Shinta tanpa bermaksud meremehkan gender, sambil mengatur konsumsi. Dengan dipandu oleh Mudika Wilayah III, sekitar 20-an anak muda (namun ada saja yang mengaku sudah tua, ck-ck-ck) bekerja bakti membereskan Sekretariat Mudika yang sudah mirip gudang. Sambil menikmati snack yang dipersiapkan oleh ibu-ibu Wilayah III, Santa mulai ngerumpi, “Hai, Shin, ngomong-ngomong gimana pendapatmu tentang Konsolidasi Mudika yang lalu?” “Mmm, yang mana?’ glek, seteguk Aqua membasahi kerongkongan. “Yaa. Secara umum lah lauw.” Setelah mengerutkan kening beberapa saat, Shinta berujar, “Pokoke kerinduan orang tua terjawab. Dan sebenarnya kaum muda sendiri juga haus akan kegiatan-kegiatan yang enerjik. Entah enerjik otaknya, apresiasi seninya atau ototnya, he..he..he.. uhuk,” Shinta tersedak. “Maksudnya bagaimana?” tanya Santa. “Ya, lihat saja tanggapan yang rata-rata cukup antusias dari masing-masing wilayah menjawab rencana kegiatan yang ditawarkan. Sukur-sukur kalau punya kreativitas untuk menampilkan suatu aktivitas baru. Asalkan bermanfaat dan kontinyu,” sahut Shinta. “Tapi ada lho yang katanya suka malas kalau ternyata dalam keluarga sudah ada yang aktif, gitu. Kalau di rumah saja sudah sering ketemu lalu di gereja juga sering ketemu kan bosen.” “Itulah, selama ini kita kurang menerapkan konsep kekeluargaan. Seorang Ibu kadang juga bisa mengambil peran sebagai Ibu walau di tengah masyarakat. Atau seorang anak adalah milik masyarakat juga.” Sambil menggigit cabe Shinta bertanya, “Memangnya kegiatan Mudika Paroki selama ini apa sih?” Sambil berbenah Santa menyahut, “Antara lain ada Liga Paroki, ada APP untuk Orang Muda dan rencananya sih visualisasi Jalan Salib lalu Jambore, itu yang intern lalu ada Posko untuk Ambon, itu yang ekstern, bergabung dengan KruK (Kelompok Relawan untuk Kemanusiaan) yang terdiri dari kaum muda Paroki blok Q, Paroki Blok B dan Paroki Cilandak.” “Trus?”, Shinta masih penasaran. “Trus? Ya, kamu yang meneruskan. Gue yakin pasti di benak loe-loe ada ide-ide yang canggih-canggih. Akan lebih berguna kalau itu semua diwujudkan. Ya, nggak.” Shinta menjawab dengan tersenyum. Rupanya di benaknya terlintas ide-ide bagus, “Mudika Wilayah gue memang berencana untuk bikin ziarah tahun ini.”Asyik, gue diundang, nggak?” “Lho, kan acara Mudika Wilayah. Jadi...” “Sayang banget, ini kan jaman globalisasi, kok loe berkesan menutup diri sih,” Shinta jadi kebingungan. “Mungkin untuk sementara ini loe belum menangkap maksud gue. Namun pada saatnya segala sesuatu yang kita lakukan sekarang itu harus dipikirkan untuk jangka panjangnya, honey. Supaya kita nggak kehilangan arah.” Sebuah motor bebek memasuki gereja, “Hai guys. Udah selesai nih?!” “Kok ngaret, sih”, seru Santa ingat omongan Romo Heru kemarin bahwa kita harus menghargai waktu orang lain. “Biasalah” Shinta menyahut. “Oh, ya gue punya sesuatu untuk loe” Santa mengeluarkan pigura kecil bertuliskan ‘Memiliki seorang teman seperti menghidupkan dua kehidupan’. “Aduh bagus sekali. Thanks. Eh, gue kan nggak ulang tahun.” “...He..he..he, itu buat ulang tahun loe tahun depan,” sahut Santa sambil berlari meninggalkan Shinta dan Santo yang terbengong-bengong.
Komentar