"Mbak, kemarin sore waktu aku kasih lunch box Bapak-bapak jual minuman, dia senyum maniez sekali lho," Centil Mendayu, teman sekretaris satu ruangan berkata sambil "Oh ya?!" kataku beralih pandang dari layar monitor, membayangkan seperti apa Bapak itu senyum. Mungkin ada giginya yang sudah sebagian ompong. "Iya", sahut Centil lagi, "Senyumnya lugu dan sederhana." Aku senyum, aku mau lihat juga senyum Bapak itu kalau aku kasih lunch box sore ini.
Begitu jam menunjuk pk. 16.30, aku segera beberes, dan Centil mengingatkan aku untuk membawa salah-satu lunch box kami. Lunch box jatah kantor tidak selalu kami makan. Ini jatah bulan puasa, cuma 8 orang di kantor yang non muslim. Sebenarnya aku bisa jalan lurus saja sampai ketemu gerbang belakang Kampus Perjuangan. Tapi karena niat ingin memberikan lunch box ini, aku jalan berbelok, lewat tengah, dan si Bapak2 tua itu sedang duduk menyender di salah satu gedung Kampus. "Pak, ini buat buka puasa nanti." "Wah, terima kasih, neng... Alhamdulilah....titik-titik.." Bapak tua itu mengucapkan alhamdulilah dengan kalimat terusan yang panjang. Dan ia memang tersenyum, iya, maniez.
Note: Foto ini karya F. Sundoko misua saya saat tugas, seorang Kakek di Sumba. Saya kehilangan momen untuk mengabadikan senyum Bapak yang saya ceritakan. Kira-kira senyumnya miriplah: senyum manis seorang laki-laki yang sudah sarat dengan pengalaman hidup, sederhana dan 'bahagia'. I love it.
Komentar