Berita Sepekan, Minggu 26 September 1999
Seorang Mbak-mbak tersenyum manis dan menyebarkan selebaran kepada Santo dan Santa yang baru saja tiba. Masing-masing dipersilakan mengisi buku tamu. Malam ini adalah seperti yang pernah tercantum di Berita Sepekan yang lalu: Ibadat Doa Bersama Taize (baca: tese), di Aula SD Tarakanita II. Kebetulan saja Santa mendapat undangan resmi sebagai wakil Koor Mudika Wilayahnya. Ia merasa tertarik untuk bergabung bersama-sama dalam Ibadat yang unik ini. Santo melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan Pk. 19.00 lebih sekian menit. Panitia penyelenggara segera mengajak para peserta untuk langsung menuju tempat berlangsungnya Ibadat. Di sana sudah disediakan lilin-lilin, sebuah salib besar dan seperangkat sound system. Sambil menunggu kedatangan kelompok Taize dari Paroki Bonaventura, Pulo Mas, Jakarta Timur, Panitya mengajak seluruh umat untuk berlatih bernyanyi. Tak lama ruangan pun sudah penuh dengan lagu-lagu 4 suara yang syahdu dengan petikan gitar yang lembut. Lagu-lagu yang dinyanyikan begitu sederhana, hanya terdiri dari beberapa kata dan terus dinyanyikan secara berulang-ulang. Sesekali permainan flute dari seorang pemudi meningkahi senandung umat. Dan lambat laun Santa pun merasakan ketenangan dalam hatinya. Ketenangan yang begitu lain....
Nama Taise muncul dari nama sebuah tempat yaitu sebuah desa kecil di Perancis di mana bruder-bruder sering berkumpul untuk berdoa bersama. Tradisi ini terus berlanjut sampai sekian lama sehingga mereka yang datang untuk bersatu dalam doa tersebut tidak lagi terbatas pada kaum Biarawan dan Biarawati. Dan lambat laun terjalinlah persaudaraan di antara mereka. Sampai saat ini mereka masih terus berkumpul dan doa-doa Taize masih terus dinyanyikan dalam berbagai bahasa di dunia.
Taize dapat disebut sebagai doa meditatif karena suasana yang diciptakan dalam doa tersebut. Syair lagu yang berupa kalimat singkat, kutipan dari Alkitab, sebagai ungkapan iman yang sederhana seperti keyakinan seorang bocah, dinyanyikan secara berulang-ulang, penuh syukur dan khidmat.
Semua umat duduk bersimpuh menghadap ke satu arah, yaitu salib dengan beberapa buah gambar sebagai simbol-simbol. Gambar seorang malaikat mengingatkan kita akan peristiwa seorang malaikat yang memberi kabar akan kebangkitan Yesus. Gambar Yohanes dan Bunda Maria mengingatkan kita akan peristiwa di bawah salib waktu Yesus menyerahkan IbuNya kepada Yohanes dan menyerahkan Yohanes kepada IbuNya. Yohanes adalah salah seorang murid Yesus tetap berada di dekatNya, pada saat Ia menderita. Cara bersimpuh seperti ini menunjukkan bahwa doa sungguh ditunjukkan kepada Tuhan dan bukannya satu kepada yang lainnya. Dan suasana hening haruslah sungguh diciptakan untuk mengundang Kristus ke dalam hati kita.
Dalam doa ini pun dibacakan 2 Kor 8: 1-7 mengenai pelayanan kasih. “Walaupun mereka miskin, mereka tetap kaya akan kemurahan. Mereka telah memberi sesuai kemampuan mereka bahkan melampaui kemampuan mereka.” Dengan begitu kita pun belajar untuk dapat terus bersyukur di tengah kesusahan.
Doa-doa umat dinayatakan secara singkat baik untuk doa yang sudah dipersiapkan sebelumnya atau doa-doa spontan. Setiap satu doa selesai didoakan, seluruhnya menjawab dengan menyanyikan “Kyrie eleison”. Setelah selesai pihak panitya mengadakan tanya jawab untuk peserta yang ingin bertanya kepada Bruder Gilenk yang kebetulan khusus datang malam itu.
Seoran Ibu menanyakan mengaa pada awal dan akhir doa tersebut tidak dibuat tanda salib. Kemudian bruder menjelaskan bahwa dalam doa meditatif ini memang tidak ada instruksi khusus yang diberikan untuk semua peserta. Masing-masing pribadi (berasal dari berbagai denominasi) bebas berdoa menurut kebiasaan dan keinginan masing-masing.
Diusulkan agar Doa Taise ini diadakan secara teratur, misalnya sebulan sekali. Umat diundang untuk mencoba cara doa Taise.
Seorang Mbak-mbak tersenyum manis dan menyebarkan selebaran kepada Santo dan Santa yang baru saja tiba. Masing-masing dipersilakan mengisi buku tamu. Malam ini adalah seperti yang pernah tercantum di Berita Sepekan yang lalu: Ibadat Doa Bersama Taize (baca: tese), di Aula SD Tarakanita II. Kebetulan saja Santa mendapat undangan resmi sebagai wakil Koor Mudika Wilayahnya. Ia merasa tertarik untuk bergabung bersama-sama dalam Ibadat yang unik ini. Santo melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan Pk. 19.00 lebih sekian menit. Panitia penyelenggara segera mengajak para peserta untuk langsung menuju tempat berlangsungnya Ibadat. Di sana sudah disediakan lilin-lilin, sebuah salib besar dan seperangkat sound system. Sambil menunggu kedatangan kelompok Taize dari Paroki Bonaventura, Pulo Mas, Jakarta Timur, Panitya mengajak seluruh umat untuk berlatih bernyanyi. Tak lama ruangan pun sudah penuh dengan lagu-lagu 4 suara yang syahdu dengan petikan gitar yang lembut. Lagu-lagu yang dinyanyikan begitu sederhana, hanya terdiri dari beberapa kata dan terus dinyanyikan secara berulang-ulang. Sesekali permainan flute dari seorang pemudi meningkahi senandung umat. Dan lambat laun Santa pun merasakan ketenangan dalam hatinya. Ketenangan yang begitu lain....
Nama Taise muncul dari nama sebuah tempat yaitu sebuah desa kecil di Perancis di mana bruder-bruder sering berkumpul untuk berdoa bersama. Tradisi ini terus berlanjut sampai sekian lama sehingga mereka yang datang untuk bersatu dalam doa tersebut tidak lagi terbatas pada kaum Biarawan dan Biarawati. Dan lambat laun terjalinlah persaudaraan di antara mereka. Sampai saat ini mereka masih terus berkumpul dan doa-doa Taize masih terus dinyanyikan dalam berbagai bahasa di dunia.
Taize dapat disebut sebagai doa meditatif karena suasana yang diciptakan dalam doa tersebut. Syair lagu yang berupa kalimat singkat, kutipan dari Alkitab, sebagai ungkapan iman yang sederhana seperti keyakinan seorang bocah, dinyanyikan secara berulang-ulang, penuh syukur dan khidmat.
Semua umat duduk bersimpuh menghadap ke satu arah, yaitu salib dengan beberapa buah gambar sebagai simbol-simbol. Gambar seorang malaikat mengingatkan kita akan peristiwa seorang malaikat yang memberi kabar akan kebangkitan Yesus. Gambar Yohanes dan Bunda Maria mengingatkan kita akan peristiwa di bawah salib waktu Yesus menyerahkan IbuNya kepada Yohanes dan menyerahkan Yohanes kepada IbuNya. Yohanes adalah salah seorang murid Yesus tetap berada di dekatNya, pada saat Ia menderita. Cara bersimpuh seperti ini menunjukkan bahwa doa sungguh ditunjukkan kepada Tuhan dan bukannya satu kepada yang lainnya. Dan suasana hening haruslah sungguh diciptakan untuk mengundang Kristus ke dalam hati kita.
Dalam doa ini pun dibacakan 2 Kor 8: 1-7 mengenai pelayanan kasih. “Walaupun mereka miskin, mereka tetap kaya akan kemurahan. Mereka telah memberi sesuai kemampuan mereka bahkan melampaui kemampuan mereka.” Dengan begitu kita pun belajar untuk dapat terus bersyukur di tengah kesusahan.
Doa-doa umat dinayatakan secara singkat baik untuk doa yang sudah dipersiapkan sebelumnya atau doa-doa spontan. Setiap satu doa selesai didoakan, seluruhnya menjawab dengan menyanyikan “Kyrie eleison”. Setelah selesai pihak panitya mengadakan tanya jawab untuk peserta yang ingin bertanya kepada Bruder Gilenk yang kebetulan khusus datang malam itu.
Seoran Ibu menanyakan mengaa pada awal dan akhir doa tersebut tidak dibuat tanda salib. Kemudian bruder menjelaskan bahwa dalam doa meditatif ini memang tidak ada instruksi khusus yang diberikan untuk semua peserta. Masing-masing pribadi (berasal dari berbagai denominasi) bebas berdoa menurut kebiasaan dan keinginan masing-masing.
Diusulkan agar Doa Taise ini diadakan secara teratur, misalnya sebulan sekali. Umat diundang untuk mencoba cara doa Taise.
Komentar