Berita Sepekan, Minggu, 28 Mai 2000
Kunti melambaikan tangannya ke arah Santa yang tengah sibuk merapikan sarung batik di rumah sebelah pastoran. “Hai, ape bener ini Misa Mudika, kok nyang datang Babe-babe ame Nyak-nyak?”, Kunti mencoba berbahasa Betawi sambil menghampiri Santa yang kemudian beranjak ke ruang kor. Sekejap ruang kor penuh dengan busana warna-warni bersarung batik tulis yang dikenakan oleh kaum putri dan busana hitam model beskap Betawi yang dikenakan oleh kaum putra.
Mereka semua mempersiapkan diri dengan lagu pembukaan berjudul ‘Seluruh Jemaat Datanglah’. Kemudian disambung dengan lagu-lagu lain yang berirama Betawi dengan iringan gitar dan biola, menambah semaraknya suasana dalam gereja. Barisan abang none ini sesekali berjoget meningkahi irama musik dan lagu yang sederhana namun lincah dan riang. “Wah ordinariumnya juga lagu Betawi”, bisik Kunti kepada rekan di sebelahnya yang tenyata datang dari paroki Servatius, Kampung Sawah, tempat nongkrongnya orang Betawi nyang Katholik. Yang diajak berseloroh cuma menanggapi sambil tersenyum. Pasalnya lagu-lagu ordinarium itu justru didapat dari paroki mereka. Kornya indah. Mereka semua adalah Mudika Gabungan dari kor-kor mudika yang ada di Paroki Blok Q.
Dengan tanpa paksaan, mereka datang dari Kor Mudika Wilayah VII, Mudika Wilayah VI, Nada Santa, Santa 34, dll. Dengan kapasitas 35 orang peronil, 20 putri dan 15 putra, ‘Inilah Kor Tanpa Nama’ mereka sering menyebut diri sendiri begitu. Berawal dari keterlibatan sekelompok teman-teman dalam Festival Musik Liturgi Betawi, dan keberhasilan mereka meraih Juara II dalam Final, telah berdiri Kor tanpa Nama yang berciri khas Betawi. Memulai latihan perdananya pada hari Senin, 21 Februari 2000, mereka telah berlatih keras dengan komando dari Sdri. Ririn dan wakilnya Sdr. Titok serta dilatih dengan setia dan sabar oleh Charly yang berdomisili di Jakarta Timur. Setelah misa banyak umat yang bertanya-tanya, kemudian timbul komentar yang rata-rata mengatakan bahwa misanya sih biasa saja tapi ada yang unik yaitu kornya, dan persembahan yang diantar oleh empat orang gadis remaja yang menari gaya Betawi.
Dalam kotbahnya tentang Akulah pokok angggur dan kamulah ranting-rantingnya (Yoh 15:1-8) Romo mengajak kita untuk mau menjalin relasi yang akrab dengan Tuhan sebagai sumber kehidupan. Dengan begitu maka kita akan menghasilkan buah. Menarik sekali Kor Tanpa Nama ini, sementara banyak orang cenderung sering membanggakan nama kelompoknya kalau sudah diajak bersatu, tapi mereka punya kebanggan tersenderi dengan Tanpa Nama. “Buahnya sudah ada tapi Tuhan belum memberikan nama apakah buah apel, jeruk atau anggur? Yang penting berbuah,” Kunti berceloteh sambil menyalami teman-teman yang tampil perdana tersebut. “Apalah arti sebuah nama?,” Santa memulai perdebatan. “Ya supaya kamu tidak dipanggil eh-eh..., nanti malah semua orang nengok,” Kunti tertawa. “Iya, nama itu nyatanya kan bikinan sendiri, cuma untuk sekedar membedakan, kok’ ya kadang bikin pusing sendiri.” “Menurut saya nama itu sebagai identitas diri agar orang bisa menunjuk ke suatu kelompok atau pun individu, sedangkan orang perlu membandingkan diri dengan sesuatu yang lain agar bisa bercermin.” Suasana Misa Betawi yang sederhana dan bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasio nal di tanggal 20 Mei 2000 ini diselenggarakan agar dengan wujud pernyataan kasih yang sederhana kita bangkitkan pula kemurnian hati nurani kita dalam menjalin relasi dengan Tuhan dan sesama, terutama semangat dan nasib lahiriah. Hilangkanlah prasangka negatif antar individu atau kelompok yang mungkin merusak. Marilah kita bangun persaudaraan yang berakar dalam Yesus Kristus, karena pada dasarnya (kalau mau percaya) semua oran gitu punya maksud baik (walau dengan bungkus yang berbeda-beda) tanpa kita menjadi terlalu naif karenanya. Budaya tepat waktu bagi Mudika Paroki Blok Q juga mesti dibangkitkan kembali jangan sampai menjadi karakter kelompok. Supaya satu sama lain dapat saling menghargai. Semoga!
Kunti melambaikan tangannya ke arah Santa yang tengah sibuk merapikan sarung batik di rumah sebelah pastoran. “Hai, ape bener ini Misa Mudika, kok nyang datang Babe-babe ame Nyak-nyak?”, Kunti mencoba berbahasa Betawi sambil menghampiri Santa yang kemudian beranjak ke ruang kor. Sekejap ruang kor penuh dengan busana warna-warni bersarung batik tulis yang dikenakan oleh kaum putri dan busana hitam model beskap Betawi yang dikenakan oleh kaum putra.
Mereka semua mempersiapkan diri dengan lagu pembukaan berjudul ‘Seluruh Jemaat Datanglah’. Kemudian disambung dengan lagu-lagu lain yang berirama Betawi dengan iringan gitar dan biola, menambah semaraknya suasana dalam gereja. Barisan abang none ini sesekali berjoget meningkahi irama musik dan lagu yang sederhana namun lincah dan riang. “Wah ordinariumnya juga lagu Betawi”, bisik Kunti kepada rekan di sebelahnya yang tenyata datang dari paroki Servatius, Kampung Sawah, tempat nongkrongnya orang Betawi nyang Katholik. Yang diajak berseloroh cuma menanggapi sambil tersenyum. Pasalnya lagu-lagu ordinarium itu justru didapat dari paroki mereka. Kornya indah. Mereka semua adalah Mudika Gabungan dari kor-kor mudika yang ada di Paroki Blok Q.
Dengan tanpa paksaan, mereka datang dari Kor Mudika Wilayah VII, Mudika Wilayah VI, Nada Santa, Santa 34, dll. Dengan kapasitas 35 orang peronil, 20 putri dan 15 putra, ‘Inilah Kor Tanpa Nama’ mereka sering menyebut diri sendiri begitu. Berawal dari keterlibatan sekelompok teman-teman dalam Festival Musik Liturgi Betawi, dan keberhasilan mereka meraih Juara II dalam Final, telah berdiri Kor tanpa Nama yang berciri khas Betawi. Memulai latihan perdananya pada hari Senin, 21 Februari 2000, mereka telah berlatih keras dengan komando dari Sdri. Ririn dan wakilnya Sdr. Titok serta dilatih dengan setia dan sabar oleh Charly yang berdomisili di Jakarta Timur. Setelah misa banyak umat yang bertanya-tanya, kemudian timbul komentar yang rata-rata mengatakan bahwa misanya sih biasa saja tapi ada yang unik yaitu kornya, dan persembahan yang diantar oleh empat orang gadis remaja yang menari gaya Betawi.
Dalam kotbahnya tentang Akulah pokok angggur dan kamulah ranting-rantingnya (Yoh 15:1-8) Romo mengajak kita untuk mau menjalin relasi yang akrab dengan Tuhan sebagai sumber kehidupan. Dengan begitu maka kita akan menghasilkan buah. Menarik sekali Kor Tanpa Nama ini, sementara banyak orang cenderung sering membanggakan nama kelompoknya kalau sudah diajak bersatu, tapi mereka punya kebanggan tersenderi dengan Tanpa Nama. “Buahnya sudah ada tapi Tuhan belum memberikan nama apakah buah apel, jeruk atau anggur? Yang penting berbuah,” Kunti berceloteh sambil menyalami teman-teman yang tampil perdana tersebut. “Apalah arti sebuah nama?,” Santa memulai perdebatan. “Ya supaya kamu tidak dipanggil eh-eh..., nanti malah semua orang nengok,” Kunti tertawa. “Iya, nama itu nyatanya kan bikinan sendiri, cuma untuk sekedar membedakan, kok’ ya kadang bikin pusing sendiri.” “Menurut saya nama itu sebagai identitas diri agar orang bisa menunjuk ke suatu kelompok atau pun individu, sedangkan orang perlu membandingkan diri dengan sesuatu yang lain agar bisa bercermin.” Suasana Misa Betawi yang sederhana dan bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasio nal di tanggal 20 Mei 2000 ini diselenggarakan agar dengan wujud pernyataan kasih yang sederhana kita bangkitkan pula kemurnian hati nurani kita dalam menjalin relasi dengan Tuhan dan sesama, terutama semangat dan nasib lahiriah. Hilangkanlah prasangka negatif antar individu atau kelompok yang mungkin merusak. Marilah kita bangun persaudaraan yang berakar dalam Yesus Kristus, karena pada dasarnya (kalau mau percaya) semua oran gitu punya maksud baik (walau dengan bungkus yang berbeda-beda) tanpa kita menjadi terlalu naif karenanya. Budaya tepat waktu bagi Mudika Paroki Blok Q juga mesti dibangkitkan kembali jangan sampai menjadi karakter kelompok. Supaya satu sama lain dapat saling menghargai. Semoga!
Komentar