Langsung ke konten utama

Senandung Zakki

Debur ombak berkejaran seirama nafas, seperti ingin mengiringi senandung Zakki di sana. Seperti rima sajak yang dinyanyikan, buih-buih ombak perlahan menepi, mendekati kakiku. Aku duduk dengan menekuk punggung, memeluk lutut dan menopangkan dagu di antaranya. Sudah cukup lama, semenjak matahari mulai terbenam tidak ada lagi kapal nelayan yang muncul dari batas cakrawala. Zakki masih duduk  di satu batu karang raksasa, tiga meter dari tempat aku duduk. Sebenarnya aku ingin mengajaknya bicara, eh, maksudku, jadi pendengar ceritanya saja aku sudah senang. Dia punya segudang pengalaman belajar dan riset. Kuliah doktor dengan beasiswa mengantarnya ke Jepang. Kecerdasannya tentu akan mampu membuatku terpana. Jika bisa dekat dengannya aku akan bersikap seperti spons, menyerap semua pengetahuan yang akan tumpah dari bibirnya yang kadang senyum sinis. 


Aku yang merusak suasana sebenarnya. Aku yang selalu lebih dulu merasa bahwa setiap orang pasti membutuhkan aku. Aku yang berambisi ingin jadi teman yang paling baik untuk semua orang. Ternyata tidak. Nyatanya Zakki tidak butuh aku. Tepatnya tidak peduli dengan aku yang semakin bersikap ingin jadi pahlawan baginya, ini kataku sendiri, tentang aku yang belum kapok untuk mengajaknya bicara.
Sebenarnya aku ingin menaiki batu karang yang tinggi yang puncaknya sedang diduduki oleh Zakki. Tapi aku kuatir lamunannya buyar, terganggu kehadiranku. Buih-buih debur ombak yang menghampiri kakiku seperti pigura laut yang tenang, menghanyutkan. Dengan menatap laut seringkali aku mendapati ritme nafasku jadi lebih panjang, dan benang kusut di kepalaku merebah.

Zakki melompat dari trap batu karang yang paling bawah, melihat ke arahku dan melengos, sambil memasukkan buku catatan dan ballpoint ke saku celananya.
“Laut membuat orang melamun,” aku mencoba memulai lagi percakapan, berjalan menyusulnya.
“dan umumnya mereka yang datang ingin melihat laut adalah orang yang sedang dalam banyak masalah.”
“Itu kan umumnya, tidak selalu begitu, “ Zakki akhirnya angkat bicara, itu membuat hatiku memekik senang.
Satu bola sepak menggelinding ke tengah kami, Zakki menendangnya ke arah anak-anak usia sekolah dasar yang sedang bermain bola 2 meter dari tempat kami berjalan pelan.
“Apa yang kau tulis?”
Zakki hanya tersenyum sinis, tidak menjawab pertanyaanku. Dadaku sedikit ngilu lagi, ‘betul kan, dia tidak ingin berbagi apa-apa denganku’.

Tadi malam, ketika aku duduk di sampingnya, di depan api unggun yang jadi saksi, Zakki membuka kemelut hatinya. Untuk semua yang ada di sana sebenarnya, bukan untukku saja. Kami sedang bermain curahan hati, berkumpul di depan api unggun, sambil menunggu beberapa teman yang sedang berendam spa air panas di dekat kemah kami.
“Teman-teman, menurut kalian, penyakit apa yang paling mematikan?”
“Malaria,” aku menyahut sekenanya. Sebenarnya bukan asal-asalan karena aku pernah mendengar cerita temanku meninggal karena malaria dalam hitungan 3 hari. Tapi aku sangsi juga karena temanku yang lain, orang Papua sudah terbiasa dengan malaria seperti penyakit batuk pilek orang Jakarta. 
“Malaria?” Zakki menoleh dengan wajah kecewa. Mungkin dia tidak menyangka aku akan menebak seceroboh itu. Tentu saja aku tidak bisa menebak apa yang mau dikatakan Zakki.
“Menurut kamu bukan malaria?”
Zakki menggeleng, “yang lain?”
“Kangker.”
Kali ini Zakki mengangguk.
“Sebulan yang lalu saya divonis kangker hati oleh dokter.”
“Serius?” kali ini aku menghentikan permainan cahaya senterku. Senter aku arahkan ke atasnya.
“Teman sebangku saya di masa kuliah, meninggal 2 tahun kemudian setelah divonis penyakit yang sama. Sejak itu saya tidak pernah lupa.”
Aku berusaha mencerna kata-katanya, tentu maksud Zakki adalah, dia tidak akan pernah lupa bahwa penyakit itu yang akan membawanya meninggal di usia muda.

Satu pelajaran penting untuk bisa menjadi sahabat seorang yang sakit keras adalah tidak pernah membicarakan soal sakitnya. Sayangnya itu baru aku pelajari setelah seminggu setelah kami kemping bersama, dia blok whatsupp dan tidak menjawab pesan-pesanku bahkan tidak menjawab telpon dariku.
Salahku, aku tanya apakah dia sudah makan buah bit untuk menambah HB. Salahku karena merasa lebih tahu dan bersemangat memberitahunya bahwa sehabis kemoterapi seorang penderita kangker harus makan buah bit.

“Bukan saja haemoglobine Mbak, tetapi kondisi seorang penderita kangker dalam banyak aspek akan menurun tingkatan ketahanannya,” Yani, temanku yang berprofesi sebagai perawat menjelaskan.
“Yang dibutuhkan seorang penderita kangker adalah teman dan ditemani.” Yani menasehati sambil tangannya sibuk menakar obat-obat yangi disiapkan untuk para pasien rawat inap.
Kata-kata itu menusuk ulu hati. Ya, tapi Zakki tidak butuh aku sebagai teman, kata hatiku setengah menangis.
“Mbak, bukannya Mbak Tiara sudah punya pacar?” Yani membuyarkan lamunanku.
“Maksudnya?” aku tidak mengerti arah pembicaraannya.
“Maksudku, apakah  pacar Mbak tidak akan marah kalau Mbak mendekati Zakki?”
Mengertilah aku sekarang.
“Yan, begini, aku punya cerita. Suatu hari, ada seorang back packer yang berhenti dan makan di sebuah warung. Angin kencang bertiup. Dia melihat penjajanya seorang gadis menggigil kedinginan. Dipakaikannya jaketnya ke tubuh gadis itu. Ketika angin sudah berhenti bertiup dan dia sudah selesai makan, pemuda itu pergi tanpa meminta kembali jaketnya dan tidak pernah kembali lagi. Apa kata orang-orang yang melihatnya? Ada yang bilang dia itu laki-laki yang tidak setia karena tidak mau menemui gadis itu lagi. Tapi ada yang bilang pemuda itu begitu tulus, dia memberikan jaket itu pada si gadis bukan karena ingin menuntut sesuatu darinya, ingin menjadikannya pacar, misalnya.”

Yani tersenyum dan memelukku.  Seperti ingin membuktikan kata-kataku, bahwa aku tulus ingin bersahabat dengan Zakki dan bahwa Pram pacarku tahu persis setiap kemelut yang menimpaku, aku pergi menjauhi Yani ke sudut lorong yang jauh dari kamar para pasien rawat inap.  Aku beritahu Pram bahwa aku ingin pulang sendiri tidak perlu dijemput.

Seorang pernah berkata bahwa sakit kangker itu seperti dapat undian, bukan suatu yang dinanti tapi tidak bisa dihindari. Mobil yang kami tumpangi memasuki area parkir tengah kota, 13 orang berlompatan keluar. 
“Zakki, ayo tanding game lagi” Deni salah seorang teman kami, menjabat tangan Zakki.
“Nanti kamu nangis kalah.”
“Zakki sampai ketemu lagi,” aku menjabat tangannya erat-erat.  Zakki tidak mau memandangku dan cepat melepas tangan dan menjauh.

Sayup-sayup, ketika kami berpisah di akhir pekan kami kemping itu, aku  mendengar Zakki bersenandung lagu yang tidak jelas apa. Aku tidak pernah tahu dan tidak berani berharap apakah kami akan bertemu lagi suatu saat nanti.

Pesan whatsupp dari Deni datang.
“Tiara, ingat Zakki, teman kita yang solider sering jaga tenda, malas makan, dan S3 Komputansi?” Deni  adalah salah seorang dari 13 teman yang juga ikut kemping di akhir pekan itu.  
“Ya, bagaimana, Deni?”
“Dia meninggal. Kamu ingat kan bahwa dia pernah bilang bahwa dia sakit kangker limfa?”
“Ya” kali ini aku mengetik dan mengangguk sekaligus dengan energi yang berkurang.
“Kapan  tepatnya dia meninggal?”
“40 hari yang lalu.”
“Kok baru kasih kabar Den?”
“Aku baru ingat, sorry Tiara. Kamu mau datang di sembahyangannya? Atau mau nyekar ke makamnya?”
“Aku mau nyekar di makamnya, kamu mau temani, aku, Den?”
“Okay.”

Aku dan Deni berjalan menuju makam yang  tampak masih baru. Di atas nisan tertulis Muhammad
Zakki dan ada kata-kata terukir,
“Teman-teman, saya sangat senang, terima kasih.”
Tak sadar aku meneteskan air mata, aku merasa tidak mendapat kesempatan menjadi seorang teman yang baik untuk Zakki. Tapi dia bilang dia sangat senang, dan mengucapkan terima kasih.
“Deni, apakah  selama kamu menemani dia, dia pernah merasa bahagia?”
Deni mengangguk, “Dia bilang dia bersyukur  punya teman-teman yang baik.”
Aku ingin sekali bertanya, apakah aku adalah salah seorang yang masuk kategori teman-teman yang baik, tetapi alangkah memalukan kalau aku bertanya begitu.
“Zakki bilang, kamu terlalu kuatir,” Deni tersenyum. “Dia cerita bahwa dia blok wa kamu, tapi untuk kebaikan kamu juga, supaya kamu nggak semakin sedih. Dia tidak ingin teman-temannya sedih. Seperti dia bilang, hidup itu indah, Ti. Dia buat aransemen lagu ini untuk kamu. Zakki ingin kamu bahagia. Seperti dia sudah bahagia sekarang. Kamu boleh pakai untuk single lagu kamu yang terbaru.”

Lambat-lambat aku menyenandungkan gubahan Zakki tanpa terasa air mata menetes kemudian:

Dan Bernyanyilah
Saat dirimu
Terhanyut dalam seri yang kau rasakan
Seperti mendung hitam

Cobalah engkau sadari
Bahwa hidup ini terlau indah
Untuk ditangisi

Uuuuuu...Uuuuuuu...

Dan bernyanyilah
Senandungkan isi suara hati
Bila kau terluka

Dengarkan alunan lagu
Yang mampu menyembuhkan lara hati
Warnai hidupmu kembali
Menarilah
Bernyanyilah

Saat jiwamu
Terlarut dalam gundah dan seakan
Tiada jalan keluar
Cobalah engkau pahami bahwa hidup ini '
Terlalu singkat untuk disesali

Uuuuuu...Uuuuuuu...

Dan bernyanyilah
Senandungkan isi suara hati
Bila kau terluka

Nyanyikan alunan lagu
Yang mampu menyembuhkan lara hati
Warnai hidupmu kembali
Menarilah
Bernyanyilah

Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan

Dan bernyanyilah
Senandungkan isi suara hati
Bila kau terluka

Nyanyikan alunan lagu
Yang mampu menyembuhkan lara hati
Warnai hidupmu kembali
Menarilah
Bernyanyilah

Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan

Huk. Zakki, seorang yang aku pikir semakin melemah karena sakitnya semasa hidupnya justru menguatkan aku lewat lagunya #DanBernyanyilah.

Zakki, selamat jalan menuju keabadian. Aku akan bahagia untuk kamu juga. 

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co.


Komentar

Eva Ariyani Muhadi mengatakan…
Wahh... Nice story..nice song! I like it! Btw, ini cerita yang dibuat dari lagu gitu ya Mbak? Ayo sebaliknya?
Helmiyatul Hidayati mengatakan…
Ini cerita fiksi gitu kah??
Rediningrum Setyarini mengatakan…
Terima kasih sudah mengapresiasi, kawan-kawan. Ini karya tulisan yang dibuat untuk mengikuti lomba yang salah satu mitranya afalah Musikimia dan berangkat dari kisah nyata saya yang ditambahi bumbu-bumbu fiksi. Musikimia sudah lebih dulu membuat lagu itu dari inspirasi kisah nyata lain milik mereka yang berbeda. Terima kasih sekali lagi.
Prita HW mengatakan…
alurnya suka mbak. Semoga sukses ya lombanya. Aku pernah denger Musikimia, tapi lupa yg mana lagunya, hehe. Ditunggu cerita lainnya.
Kok sedih y mba jadiny :( :(
Btw sukses lombanya mbaa
Ines Yuanta mengatakan…
Mbak novel blogger ya? :D
Millatuz Zahroh mengatakan…
Perpisahan di dunia ini hanya sementara, manusia akan berkumpul selamanya di akhirat... :'(