Langsung ke konten utama

Mau Pindah Agama?


Pengalaman seseorang membentuk seseorang….

Selamat Natal 2014 dan Tahun Baru 2015. :)

Seorang teman memuat artikel harian online di timeline media sosial. Uniknya, selain karena ini cerita tentang proses seorang yang berpindah agama, artikel ini juga menyebut lokasi tempat ibadah di mana saya bertumbuh di bilangan Jakarta. Lucunya, sebut saja si A, seorang tokoh yang pindah agama ini menyebutkan faktor eksternal melulu sebagai  faktor penyebab dia pindah agama. Saya tidak ingat apakah saya pernah kenal Mas A ini, atau minimal dia adalah seorang pasifis bukannya aktifis.

Berbeda dengan pengalaman 3 (tiga) teman sebelumnya di artikel Convert di blog saya ini, mereka berpindah agama semata karena mimpi dan panggilan hati yang sebenarnya sulit untuk dideskripsikan (bagi saya bukan mimpinya sebenarnya tetapi panggilan Ilahi yang misterius membuat saya lebih percaya bahwa proses pengalaman batiniah itu terjadi dibandingkan dengan alasan praktis lainnya seperti karena ikut agama pasangan hidup misalnya). Pengalaman 3 (tiga) orang teman tersebut membuat saya sedikit haru biru karena mereka membuktikan perjuangannya selama proses transformasi agamanya. Jadi cerita tentang Mas A ini membuat saya terheran-heran. 

Pertama, dari artikel ini kentara bahwa faktor di luar diri si A sangat berpengaruh pada proses pengembangan imannya tanpa diceritakan bagaimana faktor internal atau usaha Mas A ini untuk mengolah perkembangan imannya sendiri sebelum pindah agama. Beliau sebutkan bahwa umat lain yang masih memainkan handphone di dalam rumah ibadah, mengobrol di gereja, tidak ikut bernyanyi karena sudah ada koor yang menyanyi dan memakai rok mini sangat mengganggu kekhusukan ibadahnya, jadi bikin nggak betah.

Kedua,  Mas A ini menyamakan ibadah dengan belanja, dengan menyandang identitas sebagai seorang Katholik beliau mengira harus mendapatkan lingkungan sosial yang mendukung ibadahnya.

Saya suka artikel itu karena justru menceritakan dengan jelas bagaimana sikap Mas A yang tidak menunjukkan karakter orang Katholik yang harusnya pro-aktif. Perbandingan ritual agama dengan kelemahannya, antara yang satu dengan yang lainnnya menyiratkan propaganda untuk menarik lebih banyak pengikut agama tertentu.  

Di sisi lain tentunya pelajaran bagi umat kolektif Katholik adalah: Perlu tanggung jawab sosial dalam beribadah secara kolektif. Meskipun kita tidak dikenai UU Pornografi dalam Gereja dan tidak ada aturan tertulis dalam berpakaian di gereja misalnya, atau tidak akan dijemput Satpol  PP karena menggunakan handphone di dalam gereja, tetapi kita perlu memahami kultur ke-Timur-an yang masih melekat di sebagian besar masyarakat di Indonesia. Pemandangan atau kejadian seperti itu ternyata bisa mengganggu kekhusukan umat lain dalam beribadah bersama-sama, lho. Kita perlu menghormati umat lain ketika kita beribadah bersama. Sementara, kegelisahan kita secara pribadi akan iman kita perlu dikonsultasikan lebih dulu kepada seorang imam.

Di sisi lain lagi, Yesus sudah memberikan pemahaman tentang beribadah secara aktif, dengan lebih banyak memberi bukan menerima (menjadi garam dunia).  

Jadi yang saya maksudkan di sini bukanlah soal kekuatiran kita akan kuantitas umat Katholik tetapi justru kualitas kita. 

Mau pindah agama? Silakan, deh. Saya tetap menghargai perjalanan iman seseorang yang tentunya berbeda-beda. Tapi kita perlu memahami spirtualisme tanpa mengkhianati nalar kritis seperti kata penulis Ayu Utami. 

Selamat belajar dan bekerja sebagai umat kesayangan Tuhan. :) 

@ready_ningrum

Komentar